Mengekspresikan ide dalam tulisan, khususnya karya sastra (puisi) dengan kata/ frasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari berkontribusi terhadap apresiasi suatu karya. Lebih lagi, kalau frasa tertentu terlampau sering digunakan. Sebagian dari sebuah karya dianggap klise. Akibat selanjutnya tentu mempengaruhi pemaknaan karya secara utuh (unity).
Bukan masalah jika kelompok kata/ frasa dimaksud digunakan, itu sah-sah saja. Tetapi faktor keseringan dapat mengundang minimnya apresiasi yang tulus dari pembaca.
Si kreator dianggap tidak mampu menghasilkan karya yang orisinil dan tidak inovatif apalagi produktif. Sebab puisi sebagai karya sastra menghendaki adanya kreativitas mumpuni dari penciptanya. Jangan sampai proses kreatif adalah wujud dari sejumlah kata/ frasa yang telah dikonsumsi publik (imitative).
Pada umumnya kecenderungan untuk menghasilkan karya puisi dengan potensi klise memuakkan dilakukan oleh pemula. Bisa saja saya atau mungkin Anda yang menaruh kecintaan terhadap puisi.
Dimaklumi, sebab jalan menuju kematangan (profesionalitas) memang membutuhkan tahapan. Banyak kealpaan ataupun kesalahan bisa saja dilakukan di sana-sini.
Konon, kesalahan bisa merubah seseorang. Namun kesalahan berantai-beruntun adalah tindakan yang tidak bermartbat. Konsistensi untuk matang dalam berkarya sudah sepantasnya menjadi prioritas.
Memang, sastra sebagai karya fiksi menjanjikan sederet imaji liar (puitif). Tetapi bukan berarti serta-merta menggunakan kelompok kata/ frasa klise. Sebuah karya yang seharusnya estetis malah memuakkan. Adalah tanggungjawab bahwa individu sebagai pencipta karya dikehendaki untuk keluar dari zona nyaman. Pilihan dan putusan untuk menggeluti dunia perpuisian berarti berani untuk "lahir" sebagai kreator yang produktif dan inovatif.
Kata-kata klise dalam puisi berhubungan erat dengan stigma. Ketika membaca atau mendengar kalimat (konvensional) tertentu, sudah ada bayangan akan siapa pencipta/ penulisnya. Hakikatnya, suatu karya yang berkarakter identik dengan siapa penulisnya.
Sebagai contoh, aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Frasa tersebut ketika dibaca atau didengar, maka sosok yang hadir di benak pembaca adalah Sapardi Djoko Damono. Itu pun kalau si penulis mengenal sang Maestro dalam karya atau sempat menjumpainya. Nah, frasa yang sama ketika digunakan oleh siapapun entah pemula atau profesional, frasa tersebut tetaplah "milik" Sapardi.
Terkait penggunaan kata-kata klise dalam berpuisi, Mikael Johani (MJ), Penyair dan Esais, menilai bahwa umumnya media-media besar yang menyediakan rubrik puisi masih mengandalkan karya-karya dengan potensi kata-kata klise. MJ dalam penilaiannya itu malah mendorong para penyair yang karyanya belum sempat 'tembus' meja editor untuk menggunakan kata-kata klise, sok puitis, chairilanwaris, nirwandewantois.
Selain merupakan kritik atas puisi-puisi di masa kini, MJ sebenarnya ingin mengungkapkan keprihatinannya pada proses kreatif para penyair itu sendiri.
Kebanyakan penyair [pemula] dalam proses kreatif belum mampu menemukan kekhasan (karakternya sendiri). Akibatnya, kecenderungan untuk menggunakan kata/ frasa klise dalam berkarya sulit dibendung. Sebagai contoh dari kata-kata klise dimaksud, Abadi, Angan, Angin, Basah, Cakrawala, Cinta, Desir, Embun, Gugur, Hujan, Ilalang, Jelma, Kabut, Kasih, Kopi, Langit, Lekang, Mendung, Rinai, Rintik, Senja, Sunyi, dll.
Wah, tanpa disadari seringkali 'kita' menggunakan kata-kata klise itu yah. Beberapa kali ketika membaca kembali puisi-puisi saya yang sudah tayang di berbagai media (cetak dan online), muncul rasa 'jijik'.
Ada banyak kealpaan di sana, belum berpotensi jadi puisi yang baik. Tetapi ketidakmatangan itu menjadi motivasi untuk terus berpacu dalam menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Konsistensi dan produktivitas memang sangat diperlukan, tentu bagi semua kita.
Adanya kata-kata klise tidak seharusnya dihindari, tetapi diminimalisir dengan membuka kemungkinan lahirnya corak baru dalam berpuisi. Adalah konyol kalau kata-kata tersebut kemudian 'melahirkan' tampilan puisi yang hambar. Tubuh puisi jadinya tidak indah untuk dinikmati.
Nah, klise dalam puisi tidak hanya mencakup kata-kata/ frasa-frasa konvensional. Tetapi juga merujuk pada sense atau pokok persoalan di dalam karya sebagai teks, image dan metafora-metafora (frasa itu sendiri). Akibat yang paling konyol adalah ketidaksinambungan ide dan sense. Dalam artian, makna sesungguhnya dari frasa yang sama menjadi kabur bahkan hilang. Sebab kata/ frasa konvensional dalam motivasinya memiliki konteks yang berbeda (historis).
Terkait sense dalam karya sastra puisi, beberapa sastrawan (penyair) masa kini telah menemukan karakternya masing-masing. Semisal puisi-puisi alkitabiah (biblis) ketika dibaca, maka isi kepala pembaca gelisah akan merujuk pada salah satu penyair muda Indonesia, Mario F. Lawi. Walau pada kenyataannya, banyak penulis memiliki sumber image yang sama.
Selain itu, ada juga Felix K. Nesi dan Heru Joni Putra yang memiliki kecenderungan menghasilkan karya dengan mengangkat persoalan lokalitas. Keunikan mereka adalah meramu tradisi sastra lisan (pantun-pantun, tutur adat, dll) dengan sangat kreatif. Agak berbeda memang, Felix dalam kebanyakan karyanya menampilkan humor sarat kritik sosial. Tapi itulah yang menjadi kekhasannya.
Beberapa sentilan di atas mengetengahkan bahwa pencipa karya sastra senantiasa lahir dengan kekhasannya masing-masing. Itu salah satu alasan, menulis membutuhkan proses yang tidak mudah.
Setelah menjadi penulis, setiap saat kita tetap berproses untuk menemukan warna atau karakter tersendiri. Menuju karakter tersebut, ada yang membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya.
Oleh sebab itu, dianjurkan agar semampu mungkin menahan godaan untuk menggunakan kata-kata/ frasa-frasa klise. Tidak dilarang, tapi setidaknya diminimalisir. Nah, salah satu cara menahan godaan tersebut adalah dengan banyak membaca dan membuat pemetaan. Kira-kira model/ pokok persoalam mana yang belum pernah atau sangat sedikit disentuh? Selanjutnya kita memilih image dan sense sebagai hasil pemetaan untuk digeluti. Dengannya, semua kita mampu menjadi penyair yang berkarakter.
Demikian kita sepakat bahwa puisi sebagai karya sastra melahirkan penyair (kreator). Ialah kita yang tidak mengandalkan kata/ frasa klise sebagai media untuk berkreasi. Tugas kita adalah mencipta, bukan meniru. Yakinlah bahwa hasil karya kita 'tidak menjijikkan' di hadapan pembaca.
Selamat Berpuisi!
* * * * * * *
Kupang, 07 Maret 2019
Herman Efriyanto Tanouf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H