Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puisi-Puisi yang Menjijikkan

7 Maret 2019   15:48 Diperbarui: 30 Juli 2019   01:24 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Koran Kompas/ Ipong Purnama Sidhi

Kebanyakan penyair [pemula] dalam proses kreatif belum mampu menemukan kekhasan (karakternya sendiri). Akibatnya, kecenderungan untuk menggunakan kata/ frasa klise dalam berkarya sulit dibendung. Sebagai contoh dari kata-kata klise dimaksud, Abadi, Angan, Angin, Basah, Cakrawala, Cinta, Desir, Embun, Gugur, Hujan, Ilalang, Jelma, Kabut, Kasih, Kopi, Langit, Lekang, Mendung, Rinai, Rintik, Senja, Sunyi, dll.

Wah, tanpa disadari seringkali 'kita' menggunakan kata-kata klise itu yah. Beberapa kali ketika membaca kembali puisi-puisi saya yang sudah tayang di berbagai media (cetak dan online), muncul rasa 'jijik'.

Ada banyak kealpaan di sana, belum berpotensi jadi puisi yang baik. Tetapi ketidakmatangan itu menjadi motivasi untuk terus berpacu dalam menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Konsistensi dan produktivitas memang sangat diperlukan, tentu bagi semua kita.

Adanya kata-kata klise tidak seharusnya dihindari, tetapi diminimalisir dengan membuka kemungkinan lahirnya corak baru dalam berpuisi. Adalah konyol kalau kata-kata tersebut kemudian 'melahirkan' tampilan puisi yang hambar. Tubuh puisi jadinya tidak indah untuk dinikmati.

Nah, klise dalam puisi tidak hanya mencakup kata-kata/ frasa-frasa konvensional. Tetapi juga merujuk pada sense atau pokok persoalan di dalam karya sebagai teks, image dan metafora-metafora (frasa itu sendiri). Akibat yang paling konyol adalah ketidaksinambungan ide dan sense. Dalam artian, makna sesungguhnya dari frasa yang sama menjadi kabur bahkan hilang. Sebab kata/ frasa konvensional dalam motivasinya memiliki konteks yang berbeda (historis).

Terkait sense dalam karya sastra puisi, beberapa sastrawan (penyair) masa kini telah menemukan karakternya masing-masing. Semisal puisi-puisi alkitabiah (biblis) ketika dibaca, maka isi kepala pembaca gelisah akan merujuk pada salah satu penyair muda Indonesia, Mario F. Lawi. Walau pada kenyataannya, banyak penulis memiliki sumber image yang sama.

Selain itu, ada juga Felix K. Nesi dan Heru Joni Putra yang memiliki kecenderungan menghasilkan karya dengan mengangkat persoalan lokalitas. Keunikan mereka adalah meramu tradisi sastra lisan (pantun-pantun, tutur adat, dll) dengan sangat kreatif. Agak berbeda memang, Felix dalam kebanyakan karyanya menampilkan humor sarat kritik sosial. Tapi itulah yang menjadi kekhasannya.

Beberapa sentilan di atas mengetengahkan bahwa pencipa karya sastra senantiasa lahir dengan kekhasannya masing-masing. Itu salah satu alasan, menulis membutuhkan proses yang tidak mudah.

Setelah menjadi penulis, setiap saat kita tetap berproses untuk menemukan warna atau karakter tersendiri. Menuju karakter tersebut, ada yang membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya.

Oleh sebab itu, dianjurkan agar semampu mungkin menahan godaan untuk menggunakan kata-kata/ frasa-frasa klise. Tidak dilarang, tapi setidaknya diminimalisir. Nah, salah satu cara menahan godaan tersebut adalah dengan banyak membaca dan membuat pemetaan. Kira-kira model/ pokok persoalam mana yang belum pernah atau sangat sedikit disentuh? Selanjutnya kita memilih image dan sense sebagai hasil pemetaan untuk digeluti. Dengannya, semua kita mampu menjadi penyair yang berkarakter.

Demikian kita sepakat bahwa puisi sebagai karya sastra melahirkan penyair (kreator). Ialah kita yang tidak mengandalkan kata/ frasa klise sebagai media untuk berkreasi. Tugas kita adalah mencipta, bukan meniru. Yakinlah bahwa hasil karya kita 'tidak menjijikkan' di hadapan pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun