Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Cendana di NTT, antara Mitos dan Punah

1 Maret 2019   01:30 Diperbarui: 3 Maret 2019   23:35 1676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi konservasi pohon cendana di NTT/ bpplhkupang.or.id

Masyarakat menempuh cara tersebut karena lebih menguntungkan. Itu sebabnya seringkali terjadi pencurian kayu cendana. Peraturan Daerah yang dikeluarkan pun adanya sebagai wujud pencurian paling halus. Monopoli pemerintah dalam perdagangan kayu cendana membuat masyarakat mengalami kerugian. Belum lagi, di Timor pelanggaran atas kebijakan pemerintah akan dikenakan denda berupa sopi, sarung/ tenunan, dan sejumlah uang. Ah, pemerintah!

Pohon cendana kerap kali dijadikan sebagai rempah, juga dalam rupa minyak wangi (parfum), dupa, ramuan, dan beragam aksesoris (manik-manik rosario, tasbih, kipas, gelang, souvenir alat musik daerah, atau pun gantungan kunci).

Selain itu, kayu cendana pun diolah menjadi karya seni berupa patung dan motif pada tiang-tiang [khusus] di rumah adat orang Insana, Timor Tengah Utara.

Patung yang terbuat dari kayu cendana/ weeklyline.net
Patung yang terbuat dari kayu cendana/ weeklyline.net
Di Timor, pada zaman dahulu hingga tahun 1990-an (beberapa kampung di wilayah Insana), serpihan/serbuk kayu cendana dicampur bulir jagung kering lalu dibakar saat seseorang meninggal dunia.

Biasanya campuran itu dibakar pada pecahan periuk tanah (gerabah) dan diletakkan tepat di bawah/dekat jenazah. Tujuannya untuk mengawetkan/ menghilangkan "bau mayat" yang telah dijaga selama beberapa hari. Masyarakat pun meyakini bahwa asap cendana dapat mengusir roh-roh jahat di sekitar tempat duka.

Serbuk cendana/ merdeka.com
Serbuk cendana/ merdeka.com
Nah, di masa kini kebiasaan tersebut tidak dilakukan lagi. Obat-obatan medis semisal formalin (formaldehida) sudah menjadi pilihan paling ampuh untuk mengawetkan sekaligus menghilangkan bau mayat.

Kenyataan akhir-akhir ini, akses untuk mendapatkan formalin lumayan sulit. Harus ada rekomendasi dari pemerintah desa setempat sehingga masyarakat dapat memperolehnya dari pihak rumah sakit. 

Tentunya mewaspadai penyalahgunaan formalin adalah tujuan utamanya. Tetapi berakibat pada orang-orang yang ingin mendapatkannya demi mengawetkan jenazah famili. Belum lagi kalau pihak yang membutuhkan itu tinggalnya di udik, jenazah bisa saja luput dari pengawetan.

Yah, bakar dan pakai saja itu serbuk cendana toh, bersegera dan praktis! Sayangnya, ketersediaan kayu cendana telah minim bahkan tidak ada. Kisah tentang asap wangi cendana dan jenazah yang diawet bisa saja berhujung mitos.

Anak-anak "kekinian" mana peduli pada hal-hal demikian. Kisah orang-orang tua akan [segera] menjadi mitos seiring nyaris punahnya pohon cendana. Akan lebih konyol kalau sampai ada tanya anak-anak: "Cendana itu pohon apa sih?"

Pohon Cendana/ fulur.desa.id
Pohon Cendana/ fulur.desa.id

Kekonyolan itu muncul sebagai akibat dari tololnya orang-orang 'memperlakukan' pohon cendana. Di tanah Timor eksploitasi liar-berlebihan, tidak dibarengi regenerasi. Keserakahan manusia dalam mengejar nilai dan kebutuhan ekonomis maupun kepuasan lainnya menjadikan pohon cendana nyaris punah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun