Kota Kupang (Ibu Kota Provinsi NTT) yang sempat dihebohkan dengan aksi Kencan Buku Komunitas Leko Kupang pada tahun 2017 lalu, mengundang banyak respon dari berbagai pihak. Baik secara personal maupun komunitas. Salah satu respon itu datang dari teman-teman di komunitas SALT (Sekolah Alternatif) Atambua, Kabupaten Belu.
Komunitas SALT bergerak di bidang seni, pendidikan, dan juga literasi. Sedikit berbeda dengan komunitas Leko, SALT lebih banyak membuka kursus musik dan Bahasa Inggris. Komunitas ini dibina oleh dua Imam Projo Keuskupan Atambua, Rm. Patris Sixtus Bere, Pr dan Rm. Delfi Asa, Pr juga Ibu Noviany Ivon Sulaiman.
Bulan Desember 2017 lalu, SALT mengundang kami untuk sekedar berbagi tentang pustaka jalanan Leko yang lebih dikenal dengan Kencan Buku atau Baca Buku Gratis. Dengan tekad dan semangat yang ada, saya bersama dua sahabat (sesama pegiat Komunitas Leko) Gusty Fahik (Penulis juga Kompasianer) dan Felix K. Nesi (Sastrawan Muda Indonesia asal NTT, Pemenang Pertama Sayembara Novel DKJ 2018, juga hadir di platform ini sebagai Kompasianer ) memenuhi undangan teman-teman SALT Atambua.
Terkait undangan SALT Atambua, bermodalkan kendaraan roda dua, kami menempuh jarak kurang lebih 200 Km. Waktu tempuh 6 jam cukup menguras tenaga. Tapi tidak menjadi halangan untuk hadir dan berbagi. Resiko adalah kemungkinan-kemungkinan yang harus dihadapi.
Kehadiran Komunitas Leko di Kota Atambua (Perbatasan RI-Republik Demokratik Timor Leste) yang dimediasi oleh SALT memiliki tujuan yang sama yakni memberikan penyadaran untuk lebih mendekatkan buku kepada masyarakat dengan menyasar pada tempat-tempat publik.
Sejauh ditilik, beberapa perpustakaan daerah di NTT khususnya Timor "nyaris" tidak ada bacaan anak-anak. Kalaupun ada, stok bacaan sangat sedikit. Ketersediaan bacaan yang demikian tentu tidak mampu memenuhi kebutuhan pembaca (anak-anak) yang tak terkira jumlahnya.