Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

E-sports Masuk Kurikulum Pendidikan, Rencana "Antagonistik"

6 Februari 2019   01:19 Diperbarui: 6 Februari 2019   11:28 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Esports selangkah lebih maju, sayangnya Kemenpora dan pihak-pihak terkait alpa melihat kembali jejak-jejak lain yang masih tertinggal. Indonesia bukan hanya Jakarta dan sekitarnya, Palembang dan sekitarnya, Kemenpora dan jaringan sekitarnya, tapi Indonesia adalah kita, semuanya.

Indonesia dari teropong pendidikan masih jauh dari harapan. Kurikulum pendidikan yang terus berubah (gonta-ganti) selalu bikin pusing samasaudara di daerah-daerah terluar dan tertinggal. Sumber daya manusia (individu dan komunal) pun masih di bawah rata-rata. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai, bahkan nyaris tidak ada.

Sebagai gambaran, beberapa daerah pelosok di Nusa Tenggara Timur masih ada sekolah yang melangsungkan pembelajaran di gubuk beratap daun-daun lontar. Tanah menjadi kursi paling empuk, paha menjadi menjadi meja paling nyaman. Satu-satunya sumber pelajaran adalah buku pegangan guru.

Tentang olahraga, anak-anak masih menyatu dengan alam. Padang adalah lapangan paling lapang, buah lontar adalah bola paling lentur. Ketika Esports dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, maka jangan marah kalau anak-anak akan namkak (tampak dungu, bingung, tenganga). Esports itu apa? Esports itu sejenis minuman dingin kah? Beragam pertanyaan akan muncul dari anak-anak yang masih terlampau polos.

Saat ini kebanyakan masyarakat NTT masih gelisah dengan English Day sebagaimana diamanatkan dalam Pergub Nomor 56 Tahun 2018 tentang Hari Berbahasa Inggris, sedang sebagian besar masih berkutat pada a, i, u, e, o (belum fasih berbahasa Indonesia). Nah, Kemenpora hadir lagi dengan Esports, gelisah makin bertalu-talu.

Belum lagi jaringan telekomunikasi yang tidak dapat diakses samasekali. Di kota-kota besar-ibu-ibu kota sudah nyaman dengan 4G, 4G+ dan segala tetek-bengek G, di daerah-daerah tertinggal E saja tidak pernah berkunjung. Ah, listrik saja belum masuk. Lantas Esports mau masuk dari pintu yang mana? Seperti drama-sandiwara, pernyataan (rencana) Menpora adalah suara-suara antagonis (bukan sosok).

Ditinjau dari "pemerataan pembangunan nasional" dalam berbagai bidang kehidupan, Indonesia di kekinian "belum siap" menerima Esports masuk dalam kurikulum pendidikan formal. Jangan sampai sentralisasi pendidikan kehilangan arah dengan segala kebijakan antagonis.

Masuknya Esports dalam pendidikan formal bisa saja menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi dan memperparah kemiskinan struktural. Sebab adanya Esports mengisyaratkan biaya pendidikan yang mahal. Saat yang sama terciptanya peluang bagi fanatisme lebay dan eksklusivitas (imagined community). Motivasi Esports dalam dunia pendidikan formal hendaknya dipertimbangkan/ dikaji lagi. Sebab pendidikan dalam prosesnya perlu memperhatikan kemanusiaan universal.

Sumber:

Esports.id/ Menpora: Kurikulum Esports dan Kucuran Dana 50 milyar/ 29-01-2019/ Diakses: 05 Februari 2019, 10:52 Wita.

Kupang, 05 Februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun