Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Memeluk Sepi

31 Januari 2019   23:22 Diperbarui: 31 Januari 2019   23:29 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang mencaci sepi di segala peziarahan
bahkan dibunuh
seperti Nesi yang tak henti-hentinya
menghunjam kelewang
persis di rahim sepi.
Namun tak ia sadari, setiap kali
sepi dibunuh
ada tiga belas syair mengalir
bak kucur darah di putih tenunan Aina.

Ada alpa. Sepi telah membawanya
kepada tualang imaji
puisi berseliweran di mana-mana.
"Tak ada sepi. Tak ada sunyi.
Desah angin. Deru samudera.
Itu rahim puisi"
kataku pada suatu pagi
saat ia ingin membunuh itu sepi lagi.

Perlu kau tahu, dengan batu-batu karang dan
butiran pasir pantai di tangannya
ia coba membunuh setiap sepi
dari empat penjuru.

"Sepi memanggil-manggil. Namaku
senantiasa ditulis di koran-koran,
di buku-buku, di dinding-dinding, dan
di segala tempat
dimana puisi-puisi menyapa
mereka yang kesepian"
ia kembali memeluk sepi.


Kupang, 2018/2019
HETanouf

Komunitas Penulis Kompasiana Kupang dan NTT (KampungNTT)
Komunitas Penulis Kompasiana Kupang dan NTT (KampungNTT)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun