Orang-orang mencaci sepi di segala peziarahan
bahkan dibunuh
seperti Nesi yang tak henti-hentinya
menghunjam kelewang
persis di rahim sepi.
Namun tak ia sadari, setiap kali
sepi dibunuh
ada tiga belas syair mengalir
bak kucur darah di putih tenunan Aina.
Ada alpa. Sepi telah membawanya
kepada tualang imaji
puisi berseliweran di mana-mana.
"Tak ada sepi. Tak ada sunyi.
Desah angin. Deru samudera.
Itu rahim puisi"
kataku pada suatu pagi
saat ia ingin membunuh itu sepi lagi.
Perlu kau tahu, dengan batu-batu karang dan
butiran pasir pantai di tangannya
ia coba membunuh setiap sepi
dari empat penjuru.
"Sepi memanggil-manggil. Namaku
senantiasa ditulis di koran-koran,
di buku-buku, di dinding-dinding, dan
di segala tempat
dimana puisi-puisi menyapa
mereka yang kesepian"
ia kembali memeluk sepi.
Kupang, 2018/2019
HETanouf
![Komunitas Penulis Kompasiana Kupang dan NTT (KampungNTT)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/01/31/50051917-2047044818710323-148388135074529280-n-5c531c7cbde57504b150e332.png?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI