Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memungut Keping-keping Kehancuran "Manusia-manusia Patung"

31 Januari 2019   15:38 Diperbarui: 31 Januari 2019   15:53 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: oleh Gusty Fahik yang diolah dari pexel.com

Pada bagian /1/, pembaca akan meneropong interaksi sosok (persona I) terhadap sosok-sosok (persona III) yang sama-sama mengalami kegelisahan. Larik sosok-sosok yang telah menjadi patung/ saling kunjung sesungguhnya merupakan metafora yang mewakili kegelisahan.

Nah, agar dapat mengetahui kegelisahan dimaksud maka pembaca perlu menguak makna simbolik yang terdapat pada bagian /1/. Sebab di dalamnya, penyair menyandingkan pilihan kata manusia dan patung. Sudah tentu pembaca dapat memaknainya secara terpisah.

Manusia sebagai makhluk yang "hidup", berakhlak mulia mampu menjadikan persona (propritus) itu manusiawi (humanus). Ketika disandingkan dengan pilihan kata "patung" maka interpretasi yang muncul berisikan satir-sarkas. Gufak melalui puisinya berusaha meramu sindiran dengan adanya manusia patung.

Patung itu karya tiga dimensi yang sarat nilai estetis, sebab adanya memang sebagai karya seni. Patung dalam segala wujudnya mewakili pesan-pesan (makna) dari keberadaannya. Dalam diam, tidak berkata-kata, tidak tahu apa-apa, tidak punya rasa; sebenarnya patung sedang "berbicara dan merasa" dalam konsep dan situasi tertentu.

Itu patung-patung atau yang sesekali waktu pernah menjadi manusia adalah gambaran akan situasi dimaksud. Pembaca bisa menginterpretasi situasi "keterasingan" yang dialami oleh manusia-manusia yang "tidak berdaya".

Ketakberdayaan itu merujuk pada sosok "aku" yang sebenarnya bimbang dengan keberadaannya dalam ruang dan waktu tertentu. "Aku" yang tidak berdaya adalah "aku" yang tidak berguna. Seperti sampah? Iya, "aku" itu manusia sampah. Penyair sengaja memberi label manusia patung, biar "aku" tampak berguna yang mungkin sesekali memberi keindahan di kota, tempat tinggal. Rupanya penyair masih merasa kasihan terhadap "aku". Dasar penyair sukanya bersembunyi di balik kata (lupakan ini!).

Pada bagian /2/, menyadari "aku" yang tidak berguna, ada usaha dari dalam diri untuk coba keluar dari keterpurukan itu. Walau sebenarnya usaha itu makin memperparah dan membebankan. Kaca mata yang "aku" kenakan tidak lebih dari sampah busuk yang telah melahirkan ulat-ulat berbulu di mata. Jika pada bagian /1/ "aku" masih mampu membedakan, di bagian ini "aku" bahkan tidak melihat siapa-siapa dan apa-apa.

Kegelisahan makin merasuk dengan dikirimkannya hantu-hantu musim yang mematikan. Ada kisah tentang kemarau panjang, ialah kelaparan akibat gagal panen, mungkin. Walau sebenarnya "aku" tidak mempunyai ladang jagung atau punya sebidang tetapi malas untuk mengolahnya. Oleh sebab itu, "aku" sebenarnya tidak perlu merasa asing dengan kematian. Penyair terlalu sadis memberi citraan atau mungkin ini adalah bagian dari usaha memaksakan hiperbola? Entahlah, mungkin metafor lebay yang berkelas tapi kurang pantas.

Memasuki bagian /3/, penyair mendramatisir situasi. Perhatikan larik-larik bercetak miring yang mengisyaratkan monolog si "aku" dan "aku yang lain". Aku sudah bosan menjadi patung/...Oh, aku sudah lelah menjadi manusia. Pembaca akan menghadirkan respon visual dengan presisi dan metafora yang ditawarkan penyair dalam teknik jukstaposisi ini. Ada dua unsur yang dibandingkan, tetapi bukan pertentangan (kontradiktif). Jika dicermati, maka penyair sebenarnya ingin menegaskan situasi (kegelisahan) "aku" yang tiada bedanya dengan "aku yang lain".

Penegasan itu kemudian diperjelas lagi dengan beragam ketakutan yang dialami si "aku". Akibat dari ketakutan adalah terperangkap dalam situasi pasrah, lebih konyol dari ketakberdayaan.

Perhatikan bagian /4/, pertanyaan sekaligus pernyataan reflektif hadir sebagai gambaran realitas. Bahwa sosok "aku" yang tidak berdaya dan tidak berguna sangat pantas untuk dilenyapkan sebagaimana patung dirobohkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun