Masih kucari wajah-Mu di tengah rimbun mahoni, dalam Kapela di atas bukit kubur yang nyaris roboh. Tukang-tukang bangunan telah mati di hari keenam. Naija Tuaf menikmati jamuan bersimbah darah, sedang Naija Bu'uf masih mencabik tulang tengkorak tukang-tukang itu.
Aku ingin memusuhi basahnya pohon-pohon itu, tapi setapak terlanjur berkubang lumpur. Digenggam gelap dan baur dosa. Ketika rinduku pada manik-manik ibu-Mu di balik mantol biru, aku menjumpai-Mu dalam tangis dan sepi. Ada requiem di balik hitam jubah yang Kau kenakan.
Melalui manik-manik itu, aku sampai kepada-Mu. Kita menghapus kisah itu hari, saat dimana meninggalkan-Mu ialah luka. Ada sesal, tentang Kau yang memanggil-manggil sedang aku pura-pura kehilangan telinga.
Dan ketika debu dan ulat-ulat berambut melumat tubuh, cahaya di dada-Mu mencumbui wajahku. Membias, ada damai. Aku tetap tinggal di dalamnya sembari menjejaki setiap gelap hingga dosa-dosa purna.
Di hari ketujuh, aku kembali meneguk darah-Mu setelah bertahun-tahun menelan dahaga. Di hari yang sama, dalam Kapela kusaksikan Naija Tuaf dan Naija Bu'uf kehilangan jamuan purba.
_______
Insaka, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H