Kedua, melalui keteladanan. Ketauladanan dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan yang lebih luas di masyarakat. Dilingkungan keluarga, orang tua memberikan contoh tentang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kemusyawaratan dan keadilan. Pun demikian dilingkungan sekolah, para guru memberikan keteladanan nilai-nilai Pancasila dalam ucapan, sikap dan pembelajaran terhadap siswa didiknya.
Dalam konteks masyarakat yang lebih luas, para pemimpin bangsa memberikan ketauladaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana bicara tentang nilai Pancasila, jika para pemimpin bangsanya masih sibuk korupsi. Masih sibuk ngurus anak isteri untuk membangun oligarki dan politik Dinasti.
Yang lebih parah, nilai-nilai Pancasila tidak dijadikan acuan dalam membuat kebijakan. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan tidak menjadi pedoman dalam menyusun program kebijakan. Nilai-nilai pancasila, tidak dijadikan alas dasar dalam menyusun hukum dan menyusun peraturan perundang-undangan.
Tak heran, banyak produk hukum dan peraturan perundang-undangan di negeri ini bertentangan dengan salah satu nilai Pancasila yaitu nilai keadilan.
Lalu sampai kapan kita begini? Jika, Pancasila hanya dijadikam simbol atau lambang  dan pajangan. Jika Pancasila hanya diperingati sebagai rutinitas tahunan. Maka, Pancasila sesungguhnya sudah mati dan tidak berguna.
Selamat hari pancasila!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H