Kita semua tahu salah satu tajuk berita terpanas nasional 2015 adalah kebakaran hutan dan lahan. Dua provinsi yang hutan dan lahannya mengalami kebakaran paling masif adalah Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Khusus Sumatera Selatan, diperkirakan 800ribu hektar lahan dan hutan terlalap api. Titik api di Sumsel tersebar di 3 kabupaten: Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin dan Ogan Ilir. Namun kabupaten yang paling mendapat perhatian khalayak nasional adalah Ogan Komering Ilir (OKI). Pasalnya, di OKI inilah pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK) menuding sebuah perusahaan menjadi penanggung jawab akan terjadinya kebakaran lahan. KLHK lewat jalur hukum menggugat Bumi Mekar Hijau (BMH) untuk bertanggung jawab penuh atas kejadian yang bahkan BMH sendiri tidak meninginkannya.
Adalah sebuah fakta bahwa sebagian lahan yang terbakar ditanami pohon akasia yang siap panen. Sedangkan pohon ini adalah rantai produksi utama bagi BMH sebagai penyuplai bahan baku pulp dan kertas. Dengan logika sederhana saja kita dapat mengatakan mustahil BMH membakar asetnya sendiri. Yang mengherankan, kejadian kebakaran hutan dan lahan di republik tercinta ini sepertinya sudah menjadi jadwal tahunan selama beberapa dekade terakhir. Namun anehnya kenapa baru kali ini pemerintah tampak sangat bersemangat menimpakan tanggung jawab kepada BMH saja? Padahal dengan rutinnya kebakaran hutan dan lahan ini justru semestinya KLHK-lah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat menjadi pihak paling sentral dalam menanggulangi masalah ini, baik sejak pra kebakaran melalui pencegahan maupun ketika terjadinya kebakaran dengan tindakan pemadaman.
Namun agaknya memang lebih mudah bagi KLHK untuk mencari kambing hitam. Dengan hanya meminta BMH untuk bertanggung jawab penuh, maka bola sekarang dipegang oleh BMH. Padahal, kebakaran hutan dan lahan tidak hanya terjadi di Hutan Tanaman Industri (HTI) yang masuk dalam area konsesi perusahaan. Sebagian kebakaran juga terjadi di hutan milik masyarakat, hutan lindung, juga wilayah konservasi alam. Lalu bagaimana bentuk pertanggung jawaban kebakaran di hutan non-HTI ini? Mengapa kita tidak pernah mendengar pemerintah/KLHK digugat ke pengadilan karena wilayah hutannya menyumbang jumlah titik api yang tidak sedikit itu? Hukum memang sarana manusia untuk mencari keadilan. Namun bila tanggung jawab kolektif hanya ditimpakan kepada satu pihak, maka saatnya kita mempertanyakan hukum itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H