Mestinya aku membuat tulisan ini pekan lalu. Tapi apalah dayaku. Waktu dan ruang tak mau berkomplot mendukungku. Jadi, mohon dimaklumi. Toh, yang aku tulis ini sesuatu yang baru. Sesuatu yang aku yakin bermanfaat buatmu.
Begini, Bro. Berita yang kamu tulis tempo hari itu menuai kecaman lho. Kamu tahu, kan, salah satu pengecam itu adalah Ade Armando, dosen UI yang pernah lama bergelut di dunia jurnalistik.
Hemmm… Sudah lupa ya? Itu lho berita yang berjudul MA: Pasca Putusan MK, Majelis Wali Amanat UI Beku. Berita itu tayang di Detik.com pada 20 Desember 2011.
Aku tertarik mengupas beritamu, terus terang saja, setelah membaca tulisan Ade Armando di blognya. Tapi berbeda dengan ia yang lebih menyoroti agenda tersembunyi di balik berita itu, aku ingin fokus saja pada isi beritamu.
Setelah aku baca lebih dari sekali, aku mencatat ada beberapa kesalahan di sekujur beritamu. Kadar kesalahan itu variatif. Silahkan menimbang-nimbang sendiri setelah kau tuntas membaca uraian ini.
Pertama, kamu kurang teliti dalam menulis. Lihat paragraf pertamamu. Bagian terpenting setelah judul itu ternyata mengandung kekeliruan yang seharusnya bisa dihindari.
Kamu menulis “Badan Hukum (BHM) Pendidikan”. Ya, coba perhatikan lagi.
Jujur nih ya, kesalahanmu itu rada konyol. Ada kesalahan ganda di situ. Yang pertama, kamu menaruh singkatan dalam kurung itu tidak pada tempatnya. Dan kedua, Badan Hukum Pendidikan itu kan kalau disingkat jadi BHP? Kalau BHM sih, singkatan dari Bambang Harymurti.
Kedua, kekurangtelitianmu terlihat juga saat kamu menulis nomor pendapat hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung. Coba kucek-kucek kelopak matamu sebentar. Perhatikan tahunnya. Hemmm… Nggak keliru tuh tahun 2001?
Pasti keliru dong. Surat itu kan dikeluarkan pada Oktober 2011. Sekali lagi, dua ribu sebelas, bukan dua ribu satu. Jadi, yang benar bukan Pendapat Hukum Nomor 70/Td.TUN/X/2001, tapi Nomor 70/Td.TUN/X/2011.
Kamu pasti ngerti, kan, kesalahan seperti ini, kendati secuil, termasuk fatal? Penulisan nomor dalam peraturan mesti dilakukan sepresisi mungkin. Salah tulis dapat berdampak serius.
Ketiga, kamu melupakan pentingnya transparency of methods. Kamu hanya menulis, pendapat hukum itu didapat detikcom. Kamu tidak menyebutkan, siapa atau pihak mana yang memberikan dokumen itu.
Kecuali dalam liputan investigasi, sumber informasi penting untuk dibeber lho. Apalagi bila menyangkut berita yang berisi konflik antara dua pihak atau lebih.
Kita tahu, tidak seperti putusan, pendapat hukum tidak dipublikasikan Mahkamah Agung melalui website-nya. Dengan demikian, pendapat hukum itu hanya diterima oleh pihak yang meminta pendapat hukum itu sendiri.
Karena kamu tidak transparan dalam hal ini, wajar bila muncul dugaan miring detikcom telah dipergunakan kelompok tertentu untuk menyokong kepentingan kelompok itu.
Keempat, kamu melakukan keteledoran yang cukup parah karena tidak menyebutkan siapa yang meminta pendapat hukum itu dan tidak menjelaskan bahwa pendapat hukum tidak punya kekuatan mengikat.
Sekali lagi, pendapat hukum berbeda dengan putusan lho. Mahkamah Agung mengeluarkan pendapat hukum hanya jika diminta oleh pihak tertentu. Nah, payahnya, siapa pihak yang meminta pendapat hukum itu tidak kamu sebutkan.
Selaku mediator yang tidak berpihak ke mana-mana, mestinya media massa bertindak fair. Jika pendapat hukum itu diminta si A, sebutkan siapa si A itu. Lebih bagus lagi, sebutkan alasan-alasan yang melatarbelakangi si A meminta pendapat hukum.
Jika kamu baca sekali lagi dokumen itu, kamu pasti akan mendapat keterangan bahwa pendapat hukum tersebut diminta oleh pihak tertentu dengan alasan tertentu. Disebutkan juga di situ bahwa pendapat hukum tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Para pembaca perlu tahu hal ini supaya mereka tidak mengira pendapat hukum itu turun tanpa ada mendung, eh tanpa ada sebab. Para pembaca juga tidak boleh dibodohi, seakan-akan pendapat hukum memiliki kekuatan yang sama mengikatnya dengan putusan.
Coba perhatikan salah satu komentar di bawah beritamu itu yang ditulis oleh Yudistira. “Putusan MK dan MA adalah putusan hukum tertinggi jadi penentang rektor yg ngaku berpendidikan tinggi dan taat hukum harus menerimanya,” tulisnya.
Komentar itu menunjukkan bahwa ada pembaca beritamu yang tak paham apa perbedaan putusan dan pendapat hukum. Nah, sebenarnya itu tugas kamu, juga tugas mediamu, untuk membuatnya jadi jelas.
Bro, aku tak bermaksud mempermalukanmu di hadapan khalayak lho. Bagaimanapun juga, setelah berita terpublikasikan, tanggung jawab tidak lagi berada di pundak wartawan, melainkan ditanggung oleh media. Pemred dan para redakturlah yang patut diacungi telunjuk, bila berita-berita di medianya mengandung kekeliruan.
Oh ya, kini pemilik mediamu sudah berganti. Tampilan situsmu juga berubah. Tapi mengapa ya, kupantau-pantau, kualitas berita-berita yang dihasilkan mediamu tak jua membaik?
Ah, tak perlu merisaukan pertanyaan itu. Anggap saja aku sedang mengigau…
Rawamangun, 30 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H