Mohon tunggu...
Herman Hasyim
Herman Hasyim Mohon Tunggu... -

Wartawan bertanya "ada apa". Filosof bertanya "mengapa". Dan orang kreatif bertanya "apa jadinya bila".

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Ini Istriku, Mana Istrimu?

7 Oktober 2010   03:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:39 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Adakah lelaki yang tidak jatuh hati pada wanita cantik, cerdas, dan sopan? Mungkin ada, tapi saya tidak termasuk di dalamnya.


[caption id="attachment_281411" align="alignleft" width="225" caption="Foto dan wanita yang ada di dalam foto adalah koleksi pribadi."][/caption]

Sebagaimana kebanyakan lelaki lainnya, saya mencintai seorang wanita, menikahinya, dan hidup bersama-sama dalam suka dan duka. Saya membangun hubungan itu cukup lama, sekitar empat tahun, mulai dari membangun fondasi, menegakkan tiang-tiangnya, mengatapinya, menghiasinya, hingga bangunan rumah tangga itu bisa setegak sekarang.

Betatapun kokohnya rumah tangga, godaan untuk berpindah atau berpaling ke lain hati selalu ada. Dan jika godaan itu muncul, apa yang saya lakukan? Sederhana saja. Saya langsung mengingat-ingat kembali kata-kata sakti Putu Wijaya yang diucapkannya 20 tahun silam.

Sastrawan dan dramawan asal Bali itu suatu ketika ditanya wartawan majalah MATRA mengenai apa arti sebuah perkawinan.

Putu Wijaya menjawab, “Bagi saya perkawinan itu membebaskan, bukan membatasi. Lelaki diselamatkan dari jurang keruntuhannya oleh wanita di dalam pernikahan. Ia dibebaskan dari keadaan melamun, bermimpi, untuk melihat kepada realita. Kalau ada perkawinan yang menyebabkan lelaki bertindak sebaliknya, yakni tidak bebas, melamun, tidak realistis dan sebagainya, saya kira konsep perkawinannya itu harus dijajal lagi. Paling tidak, mungkin ada perbedaan konsep dengan pasangannya atau salah memilih pasangan.”

“Apakah kita harus kawin bila ketemu wanita ideal kita?” tanya wartawan tadi.

“Menurut saya tidak ada itu wanita ideal, seperti juga tak ada lelaki ideal. Itu semua hanya ide dan mimpi kita. Ego saya sebagai lelaki memang menginginkan wanita yang tahu menghargai dirinya, cantik, cerdas, sedikit sombong, mandiri, terbuka pikirannya terhadap hal-hal baru, sehingga bisa diajak diskusi, kuat, berani dan lain sebagainya. Tapi siapapun dia, begitu ia jadi istri kita, partner kita, buat saya dia adalah wanita ideal.”

“Peranan istri dalam hidup Anda?”

“Sebagai sahabat, guru dan juga ‘musuh’. Kadang-kadang saya memerlukan bantuan istri seperti sparring partner, kalau saya memerlukan lawan diskusi. Seperti ‘frame’ kalau saya memerlukan disiplin. Seperti supporter kalau saya memerlukan dorongan.”

Seumur-umur saya belum pernah ketemu Putu Wijaya, kecuali melalui buku, essay, dan cerpen-cerpennya. Itupun yang saya baca belum seberapa. Namun entahlah, belum pernah saya menemukan kutipan tentang perkawinan yang sangat-sangat klop dengan apa yang mengendap di benak saya sebagaimana halnya yang saya temukan pada diri Putu Wijaya.

Tiap kali membaca kata-kata sakti itu, saya merasa dikuatkan kembali. Saya menemukan lagi sesuatu yang selama ini saya biarkan terpendam sehingga untuk mendapatkannya saya harus susah-payah menggalinya. Sesuatu itu adalah cinta yang tulus. Cinta yang mendarah-daging. Cinta seorang istri.

Terima kasih, Putu Wijaya. Berkat teror mentalmu, saya berani berteriak lantang: “Ini istriku, mana istrimu?!”

Menteng, 7 Oktober 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun