Mohon tunggu...
Herman Seran
Herman Seran Mohon Tunggu... Petani - Petani

Pekerja swasta yang menulis sebagai hobi dengan ketertarikan multispektrum. Konsentrasi khusus pada valuasi projek, manajemen organisasi, pemberdayaan masyarakat, komunikasi dan negosiasi strategis dan ekonomi ekstraktif.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untuk Perdamaian: Kita Butuh Dialog Bukan Peperangan

11 September 2024   00:27 Diperbarui: 11 September 2024   22:37 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Refleksi Atas Kunjungan Sri Paus Ke Indonesia

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia yang berlangsung dari 3 - 6 September 2024, menyisakan kisah yang terus dipergunjingan setelah kepergiaannya. Paus Fransiskus melawat ke negara muslim terbesar sejagat ini  dengan dua misi: kunjungan diplomatik dan lawatan kegembalaan. Dari segi diplomasi politik, Paus Fransiskus membawa agenda perdamaian untuk merajut kembali persaudaraan dan persahabatan yang tercabik-cabik oleh perang yang bersumber dari hati yang kemaruk dan jahat. Indonesia sabagai salah satu negara berpenduduk terbanyak dan penganut muslim terbesar di dunia memiliki legitamasi yang patut untuk tujuan diplomatik ini.

Sambutan nasyarakat lintas agama terhadap kedatangan Paus Fransiskus di Indonesia menunjukkan secara jelas bahwa kekuatan tanpa senjata mampu menjadi antitesis atas pernyataan: Vis Pacem, Para Bellum! Para penganut kebijakan perang selalu mengumandangkan adagium yang muncul sejak abad keempat masehi oleh Publius Flavius Vegitius Renatus, seorang penulis Romawi ini. Sambutan terhadap beliau mengafirmasi bahwa perang bukanlah satu-satunya cara mewujudkan dan menjaga perdamaian. Kasih persaudaraan yang menyentuh setiap hati manusia adalah strategi perdamain lain yang sahih dan terbukti efektif.

Paus Fransiskus, adalah pemimpin satu negara kota, Vatikan, yang tidak memiliki angkatan bersenjata, tanpa anggaran perang apalagi persenjataan. Kalau memasuki Vatikan, kita hanya akan menyaksikan pengamanan  oleh tentara Swiss dengan seragam kuning biru di samping pengamanan dari keamanan negara Italia. Kita paling menyaksikan upacara misa setiap hari di Basilika Santu Petrus atau kapela-kapela seputaran tanpa apel akbar setiap hari. Tidak tercium aroma militeristik dan nafsu untuk menguasai negara lain dengan senjata di Vatikan. Aura ini yang juga terbawa dalam setiap lawatan Paus Fransiskus saat ke Indonesia.

Agenda diplomatik Paus Fransiskus adalah kasih persaudaraan yang dinyatakan secara tersurat maupun tersirat dalam setiap kunjungannya. Ia justeru menyeruhkan bahwa perdamaian tak harus dicapai dengan peperangan. La belleza disarmata.... Kasih tak bersenjata, jika meminjam judul buku Julian Carrón, mantan presiden Communion and Liberation (CL) yang terbit 2015. Dalam satu eksibisi di Rimini 2018, saya tahu kalau teologi Paus Fransiskus sangat dipengaruhi oleh dua teolog besar, yakni von Balthasar dari Jerman dan Luigi Giussani, pendiri CL dari Italia. Dalam semangat Santo Fransiskus dari Asisi, diplomasi Paus Fransiskus menjadi contoh klasik kekuatan diplomasi tanpa senjata. Ia datang menebar kasih persaudaraan antar bangsa bahkan untuk segala ciptaan. Penandatanganan berbagai macam nota kesepahaman persaudaraan, termasuk yang dilakukan di Masjid Istiqlal Jakarta kemarin, dalam berbagai lawatannya adalah ekspresi misi diplomatik beliau. 

Ekspresi belarasa Paus Fransiskus terintegrasi dalam setiap gestur diplomatiknya, terutama  saat kunjungan beliau ke Indonesia. Pilihan menggunakan pesawat komersial Ita Airways, memakai kendaraan kijang innova, menginap di kedutaan daripada di hotel, bahkan  pilihan makan nasi goreng dalam perjalanan dengan Garuda Indonesia ke Port Moresby adalah gestur politik yang terintegrasi. Ia mau menunjukkan praktek persaudaraan sejati yang duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan mayoritas sesamanya di Indonesia. Suatu integrasi selaras antara kata, praktek hidup, misi dan metode diplomatik beliau. Fratelli Tutti!

Fratelli Tutti, adalah ensiklik ketiga Paus Fransiskus yang ditandatangani 4 Oktober 2020, saat dunia diporakporandakan oleh serangan makhluk terkecil, Covid-19. Lewat ensiklik ini, Paus Fransiskus menegaskan bahwa kita semua bersaudara dan tergantung satu sama lain. Karena itu berbagai persoalan, entah personal maupun bersama, perlu diselesaikan  dalam kasih persaudaraan. Faktanya persaudaraan adalah bahasa yang diterima setiap orang. Tidaklah mengherankan beliau disambut di Indonesia begitu hangat dan akrab melebihi pemimpin besar manapun yang pernah berkunjung, sampai-sampai menimbulkan kecemburuan pihak tertentu. Ia becengkerama akrab dengan orang tua maupun anak kecil, perempuan maupun laki-laki tanpa memandang agama dan kepercayaan. Ia datang membawa kasih yang merupakan jawaban atas pencarian setiap hati manusia. Ia mau menegaskan bahwa Kristus datang bukan untuk agama tertentu tetapi untuk manusia yang mencari kebahagiaan sejati.

Sejatinya hati setiap orang diciptakan untuk mengalami kebahagiaan sejati seperti harmoni, keindahan, kedamaian, bahagia. Tak ada orang normal manapun dilahirkan mencintai kejahatan, peperangan, dan kegaduhan karena hal itu melawan kodratnya sendiri. Inilah prinsip kesadaran religius yang dimiliki oleh setiap orang yang lahir sebagai ciptaan Tuhan, yang digambarkan dengan baik oleh Luigi Giussani dalam bukunya, The Religious Sense. Kesadaran religius ini yang menjadi dorongan pencarian tiada henti umat manusia akan makna eksistensinya di bumi ini. Makna hidup manusia merujuk pada yang Ilahi, kepada Sang Misteri, Allah semesta alam. Allah adalah puncak pencarian yang merupakan awal dan akhir hidup kita: Alfa dan Omega.

Di ujung pencarian akalnya yang terbatas akan makna hidup ini, Sang Misteri menyibakkan tabir rahasianya untuk dikenal.  Sebab mereka yang mencari akan menemukan dan yang mengetuk kepadanya pintu akan dibukakan. Maka iman sejatinya adalah tanggapan manusia terhadap puncak pencarian akali, ketika Sang Misteri membuka tabir diriNya untuk dikenali. Agama adalah ekspresi dari tanggapan manusia atas apa yang dijumpai dalam pencarian akalnya, yang sangat ditentukan oleh apa yang dialami dan kemampuan penyelamanannya. Jika kita tidak sempurna melihat dan memahami satu objek tiga dimensi secara keseluruhan, apa lagi memahami Allah yang melampaui dan di dalam segala sesuatu? Maka agama apapun memiliki keterbatasan karena merupakan ekspresi manusia atas dasar yang terbatas dan dalam keterbatasan.

Di sinilah dialog antar manusia sebagai saudara menjadi penting untuk terus dipromosikan: kita tidak mampu memahami apa yang benar dan apa yang salah. Kebenaran hanya milik Tuhan sang misteri itu sendiri. Misi diplomatik Paus Fransiskus adalah merangkul dan menjembatani dialog antar manusia bahkan seluruh ciptaan untuk mendekati kebenaran sejati: Sang Misteri. Kita semua bersaudara... frateli tutti! Jika kita bisa bersaudara tanpa harus berperang, mengapa saling menghancurkan untuk sesuatu yang kita sendiri tak tahu kebenarannya? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun