Kabar Medan, misalnya, memberitakan bahwa Yosep Adi Prasetyo mengatakan bahwa, "....dewan Pers akan berinisiatif menghentikan dana kerjasama pemberitaan dengan wartawan, kecuali iklan di media. Karena banyak temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), terkait dengan penggunaan dana kerjasama pemberitaan Pemda dengan wartawan yang terindikasi korupsi."Â
Apakah ini hanya sekedar soal etika jurnalistik dan korupsi? Penulis berpendapat bahwa kooptasi media atas nama kontrak kerjasama pemberitaan memiliki daya rusak yang lebih dasyat. Kontrak Kerjasama pemberitaan sejatinya meruntuhkan pilar demokrasi dan tatakelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Semakin banyaknya uang yang dilemparkan ke daerah harus bisa disertai dengan kontrol media yang kuat.Â
Jika parlemen lokal dikuasai oleh kroni dan keluarga eksekutif seperti jamak kita saksikan lewat praktek vulgar pemerintahan dinasti. Mediapun dikuasai atas nama kerjasama pemberitaan, maka tinggallah masyarakat sipil yang lumpuh plus bisu karena suaranya tak diberitakan media dan aspirasinya tak terakomodasi di tingkat pembuat aturan. Itupun kalau masyarakat sipilnya tak sumpal pula.
Singkat kata, membiarkan media lokal dikooptasi pemerintahan daerah adalah upaya membunuh demokrasi dan tatakelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel dari pinggiran Indonesia. Banyaknya anggaran yang digelontorkan ke daerah harus dibarengi dengan fungsi kontrol yang efektif termasuk dengan tidak membiarkan media terkooptasi. Â
Pemerintah bersama organisasi profesi dan organisasi media harus meletakkan masa depan bangsa di atas kepentingan individu dan kelompok dengan memastikan fungsi kontrol pers daerah tidak dilumpuhkan oleh kerjasama yang bersifat membungkam dan membunuh demokrasi dan good governance.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H