Atau, tokoh Karmila (Karina Suwandi) -- saya hanya tau dia bekerja untuk Tjokro menjual benda benda pusaka ke cukong Barat, namun saya juga akhirnya tidak paham kepada siapa dia berpihak pada akhirnya, selesai begitu saja.
Namun, film ini beruntung dengan beberapa cast yang aktingnya tepat dan kuat. Tentunya adalah Sujiwo Tejo -- tindak tanduknya, prilaku, gesturenya, tariannya, nyanyiannya -- seolah dialah sang Brotoseno.Â
Selain Asmara Abigail, yang lain tidak secermerlang Sujiwo, namun tidaklah buruk, walaupun terasa kurang optimal karena minusnya eksplorasi. Namun jujur, saya merasa Sujiwo lah kunci sukses film ini dan racikan ritual yang mencekam.
Dan akhirnya lahirnya Kuntilanak menjadi puncak setelah film ini bernarasi selama nyaris 1 jam 40 menit, dengan metode kilas balik timeline yang kurang optimal dan terkesan membuat cerita tersendat.Â
Adegan pamungkas ini akhirnya juga kurang "menggigit" bukan karena kurang seram (juga bukan visi naskah film ini) tetapi karena jiwa dari film ini tenggelam oleh kelam dan aroma jahat yang terpapar sepanjang film.Â
Yang gagal muncul adalah bentuk kemarahan dari sang Kuntilanak karena anaknya si Uma tersakiti -- sekalipun itu semua bagian dari plot Broto -- kemarahan si ibu terhadap Tjokro yang menjadi titik awal kenapa hidupnya terkurung dalam kutukan sebagai roh jahat.Â
Skor: 7/10 (17+)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H