Di awal merebaknya virus corona (Covid-19) di Cina, ada sebuah video yang memperlihatkan antrian panjang masyarakat di Hongkong. Dengan langkah cepat dalam pengambilan gambar, video itu memakan durasi 2 menit 16 detik. Jika kecepatan melangkah cepat 1,4 detik / meter, maka panjang antrian itu adalah 136 : 1,4 detik = 97, 2 meter. Ketika video itu berakhir, masih terlihat antrian mengular.
Hari ini di Jakarta, tepatnya di halte-halte busway mulai terlihat antrian panjang. Antrian itu disebabkan oleh keluarnya aturan baru jadwal busway yang diumumkan oleh Gubernur DKI Anies Baswedan, untuk mengurangi frekwensi dan jam operasional busway Trans Jakarta.Â
Para pengguna transportasi massal yang tidak ingin kehilangan waktu dan kesempatan untuk datang ke tempat kerja mereka, mau tak mau harus mengantri. Karena jika terlambat naik busway pada kesempatan pertama, dia akan menunggu 20 menit lagi.
Minggu (15/3/2020) Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan kebijakan baru dalam pengaturan transportasi di Jakarta. Yang pertama adalah mencabut sementara kebijakan Ganjil - Genap, kemudian membatasi jam operasional beberapa moda transportasi ibukota seperti MRT, LRT dan Trans Jakarta. Tujuannya adalah untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Kebijakan yang diberlakukan adalah: ketersediaan MRT dari setiap 5 -- 10 menit menjadi 10 menit. Jumlah gerbong dari 16 tinggal 3 -- 4 saja.
Jumlah orang dalam di stasiun MRT dan halte Trans Jakarta dibatasi. Di gerbong MRT jika biasanya 300 jadi 60 orang saja.
Untuk LRT dari semula setiap 10 menit menjadi 30 menit. Waktu operasi dikurangi dari semulai dari Pk.05.00 -- 23.00 menjadi Pk.06.00 -- 18.00 WIB. Begitu pun pelayanan TransJakarta dari semula 24 jam kini hanya jam 06.00 -- 18.00 WIB.
Rute dan frekwensi kedatangan dirubah. Bus TransJakarta dari semula 248 rute menjadi 13, dengan waktu keberangkatan tiap 20 menit.
Dengan pengurangan jumlah gerbong, rute dan frekwensi perjalanan transportasi massal tersebut, maka tumpukan penumpang di setiap halte dan stasiun tidak terhindarkan.Â
Banyak calon pengguna kendaraan umum yang mengeluh, karena antrian panjang dan lamanya waktu mengantri. Itu pun setelah bisa masuk ke dalam kendaraan, mereka harus berjejal-jejal seperti tumpukan ikan asin.
Jika melihat tujuan yang ingin dicapai Gubernur DKI, yaitu mengurangi potensi penyebaran Covid-19, memang bagus. Anies adalah gubernur yang sangat peduli dengan wabah corona.Â
Beberapa kali ia mengeluarkan statemen dan mengeluarkan kebijakan untuk "melawan" corona. Akan tetapi implementasi kebijakan yang dikeluarkan tidak tepat, khususnya dalam membatasi jumlah armada dan frekwensi perjalanan transportasi umum.
Dengan kebijakan itu Anies berharap orang mengurangi perjalanan, atau kalau mungkin tidak sama sekali. Mereka yang bekerja di kantoran diharapkan bisa bekerja di rumah -- sama seperti himbauan Presiden Joko Widodo.
Persoalannya, tidak semua karyawan bisa bekerja di rumah, atau tidak semua kantor menerapkan kebijakan untuk "merumahkan" karyawannya. Belum lagi banyak pekerja yang memang tidak bisa melakukan pekerjaan di rumah, seperti karyawan rumah sakit, hotel, restoran, kafe, tempat-tempat hiburan, media, dan banyak lagi.
Yang ironis, karyawan golongan ini kebanyakan harus menghabiskan waktu bekerja sampai malam, sehingga keberadaan transportasi massal seperti buway TransJakarta sangat berarti. Celakanya Gubernur DKI justru meniadakan perjalanan busway pada malam hari, pada saat mereka sedang butuh.
Memang ada ojek atau taksi online. Tetapi ongkos yang dikeluarkan jauh lebih mahal dibandingkan ongkos busway. Bagi karyawan-karyawan yang bekerja di tempat-tempat seperti itu tentu sangat memberatkan. Menggunakan kendaraan bermotor sendiri pada malam hari, berisiko tinggi. Kita sama tahulah risiko seperti apa yang dihadapi oleh pengendara motor di malam hari. Apalagi bagi perempuan.
Entah apa yang terpikir di benak Gubernur DKI Anies Baswedan. Apakah pengurangan jumlah armada atau frekwensi perjalanan angkutan umum yang dikelola oleh pemerintah DKI itu benar-benar untuk mencegah Covid-19 atau hanya untuk menghemat biaya operasinal untuk mengurangi subsidi? Atau gubernur berpikir Covid-19 hanya muncul di malam hari, sehingga jadwal MRT / LRT dan busway malam ditiadakan.
Sejauh ini belum ada penelitian virus corona hanya menyebar pada malam hari. Kalau kemudian penelitian membuktikan Covid-19 hanya menyebar dan berkembang pada pagi dan siang hari, kan tambah celaka. Penumpukan penumpang pada saat antrean dan di dalam kendaraan umum -- khususnya bus TransJakarta, justru menambah potensi penyebaran Covid-19, karena tanpa bisa dihindari, penumpang akan bersentuhan dengan orang-orang di dekatnya.
Melihat fenomena yang ada pasca pemberlakukan jadwal baru transportasi massal yang dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta, sebaiknya Gubernur memikirkan lagi kebijakan yang dibuat. Kalau bisa dibatalkan. Yang terbaik justru memperbanyak armada dan frekwensi perjalan, agar tidak terjadi penumpukan penumpang baik di halte maupun dalam kendaraan.
Tidak mungkin semua karyawan bekerja di rumah untuk menangani pekerjaannya, karena banyak pekerjaan yang mengharuskan mereka untuk hadir. Mungkinkah rumah sakit, hotel, restauran, kafe dan tempat hiburan bisa buka tanpa kehadiran karyawannya? Tanpa kehadiran mereka, berarti tempat bekerjanya tutup.
Perlu juga diingat, tempat-tempat makan di Jakarta, baik restoran, kafe, kuliner kaki lima dan warung-warung kopi, banyak yang menggeliat di malam hari. Jika transportasi umum di malam hari ditiadakan, maka konsumen tempat-tempat kuliner dan hiburan itu pun akan berkurang. Dampak ekonominya cukup besar.
Sebaiknya Gubernur DKI mempertimbangan banyak hal, sebelum mengeluarkan kebijakan publik. Entah kalau tujuannya berbeda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H