Pada tanggal 29 Oktober 2018 lalu PT. Nusantara Sejahtera Raya, Â pengelola jaringan bioskop 21/XXI, mengirim "surat cinta" kepada produser dengan tembusan tiga organisasi produser film di Indonesia, yakni APFI (Asosiasi Produser Film Indonesia) PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) dan APROFI (Asosiasi Produser Film Indonesia).
Surat tersebut berisi himbauan kepada produser film, agar menjaga momentum pertumbuhan film Indonesia, dengan memperhatikan keragaman genre film yang diproduksi.
Isi surat tersebut cukup mencengangkan karena, baru kali ini pihak bioskop peduli terhadap genre film yang dibuat oleh produser film di Indonesia. Padahal buat bioskop, yang penting film disukai penonton dan tiket ludes terjual.
Sekilas dapat dilihat betapa mulianya pemikiran pihak bioskop, sehingga perlu memberi himbauan kepada produser film agar memperhatikan keragaman genre film yang akan diproduksi.
Pemerintah sendiri -- dalam hal ini Pusbang Film Kementerian Pendidikan yang selama ini menempatkan diri sebagai pembina perfilman -- tidak pernah meributkan soal genre film yang ada di Indonesia.Â
Dalam dua tahun terakhir ini, film bergenre horor memang menguasai layar bioskop di Indonesia. Ada yang sukses, dan banyak pula yang gagal.
Film horor masih dipercaya sebagai pembawa rejeki, sehingga roduksi film horor terus berlangsung hingga hari ini. Dipastikan setiap minggu tak ada layar bioskop yang tak memutar film horor. Dari 100 judul lebih produksi film Indonesia, 70 persen di antaranya bergenre horor.
Memproduksi film horor kabarnya tidak terlalu sulit atau membutuhkan biaya besar. Pemainnya sedikit, lokasi atau set-setnya terbatas, tidak memerlukan penata kostum khusus yang berbiaya mahal, atau effect-effect yang rumit, sehingga biayanya bisa ditekan sangat murah. Di Indonesia banyak yang bisa membuat film horor dengan bujet Rp.600 juta hingga Rp.1 milyar.
Masuknya sutradara ternama seperti Joko Anwar yang berhasil membuat Pengabdi Setan menjadi film terlaris tahun 2017, harus diakui telah membuat film horor Indonesia naik kelas. Keberhasilan itu membuat banyak produser dan sutradara tidak malu-malu lagi untuk masuk ke dalam film horor.
Anggapan "film horor disukai penonton" seperti menjadi pegangan oleh banyak pembuat film, sehingga penyakit latah yang sudah demikian akut di masyarakat, menghinggapi orang-orang film juga. Sikap latah itu pada gilirannya menjadi kontraproduktif, karena jumlah produksi film horor melambung!
Karena begitu banyak film yang masuk ke bioskop, penonton akhirnya harus selektif. Sebab tidak mungkin juga harus menonton semua film. Maka dipilihlah film-film yang menurut penonton baik dalam penggarapan, dibintangi oleh artis-artis kelas satu dan ceritanya menarik.