"Penuh dengan teknik praktis dalam mengajar, mejadikan sosok guru sebagai seniman tingkat tinggi dan 'gurunya manusia'." (Munif Chatib)
"Ada Bu Herliiiinnn." Teriak beberapa siswa kelas rendah saat melihat kehadiran saya di kelas IV beberapa waktu yang lalu. Tahun ini untuk pertama kalinya saya ditugaskan mengajar di kelas IV oleh kepala sekolah. Beberapa tahun sebelumnya dipercaya mengajar di kelas 1.Â
Selama mengikuti perkuliahan PPG saya tak full masuk ke sekolah. Sesekali datang ke sekolah selalu diserbu oleh siswa kelas rendah. Kontak fisik tak terelakkan.Â
Dengan refleks mereka mengejar dan mendekap. Apalah daya, karena begitu gemasnya melihat mereka yang imut-imut saya kerap tak bisa menahan diri. Langsung merespon sambutan hangat mereka bahkan tak jarang mengangkat mereka ke udara dengan alibi menimbang berat badan mereka. hehehe. Begitu salah satu seni saya dalam mengekspresikan rasa sayang pada mereka.
Surat cinta ala kelas rendah pun membanjir. Jika dikumpulkan jumlah oretan  cinta yang saya terima dari siswa imut-imut ini jumlahnya sudah tak terhitung. Coraknya begitu beragam.Â
Terkadang surat yang penuh rayuan dan pujian itu berisi hadiah-hadiah kecil berupa permen atau pun stick note dengan karakter lucu-lucu. Pujian yang mereka layangkan setulus hati tak sepadan dengan kualitas saya sebagai guru mereka.
Sejatinya dulu saya tak berani memegang kelas rendah. Bahkan saat praktek lapangan semasa kuliah saya selalu berurai air mata jika ditugasi mengajar di kelas 1.Â
Suasana di kelas satu kerap membuat saya takut kala itu. Sebab siswa kelas 1 kerap menangis untuk alasan apa pun. Hal kecil pun bisa menjadi penyebab mereka tersedu-sedu. Kondisi seperti ini membuat saya sempat trauma di masa lalu. Akibatnya dalam waktu hampir enam bulan PPL, saya hanya beberapa kali berani memasuki kelas yang dipenuhi wajah-wajah polos tersebut.
Selepas kuliah saya memilih mengajar di sebuah sekolah PAUD. Awalnya sekadar mengobati rasa penasaran dan melawan rasa takut terhadap siswa mungil-mungil ini. Di sinilah saya mulai belajar menakhlukkan hati siswa usia dini. Mencuri perhatian mereka hingga kehadiran diterima. Bahkan belajar untuk menjadi sosok guru yang selalu dirindukan dan kehadirannya dinantikan.
Setahun mengajar di sana saya berpindah ke salah satu sekolah taman kanak-kanak swasta di kota tempat saya berdomisili. Perlahan ketakutan terhadap suasana corak belajar peserta didik di usia dini ini  memudar. Malahan mulai lengket dan menyatu dengan dunia mereka.Â
Ketika perjalanan hidup membawa langkah ini melakoni profesi sebagai seorang guru SD, saya sering ditugasi di kelas rendah. Menurut kepala sekolah dan teman sejawat saya cocok mengajar di kelas 1 karena terlihat klop dengan mereka. Tiada protes yang terlontar dan tugas pun diterima.
Kenyamanan luar biasa begitu dirasakan ketika berinteraksi setiap hari dengan kelas yang dipenuhi wajah-wajah imut dan menggemaskan.Â
Berhadapan dengan mereka penuh dengan keseruan. Keseruan tak hanya berlangsung di dalam kelas. Namun juga merambat keluar kelas. Bahkan mereka dengan setia membuntuti saya hingga kontrakan kala itu. Dengan senang hati kedatangan mereka di terima. Kehadiran mereka di hunian sungguh menggembirakan. Menghilangkan suasani sepi di tempat tinggal yang memang jarang penduduk dan jauh dari keluarga.
Kedekatan dengan siswa juga membuat terciptanya hubungan baik dengan orangtua. Hikmahnya sungguh luar biasa. Selain hasil belajar siswa perlahan meningkat, perubahan akhlak mereka dari hari ke hari juga semakin bagus. Lebih topnya lagi, saat tiba musim buah-buahan, kontrakan saya pun dibanjiri oleh buah durian, manggis, rambutan yang merupakan hasil kebun orangtua siswa.
Perlahan kami dapat membuktikan, bahwa mendidik dengan cinta serta menggunakan strategi yang cocok dengan siswa akan membuat tujuan pendidikan berangsur terwujud.
At my home. Selasa, 7 September 2021, 15.45 WibÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H