"Duh, ini punya saya salah semua. Kenapa dapet nilai 70 Bu?" Protes salah seorang siswa kelas VI di sebuah sekolah dasar pada masa itu."Itu batas KKM Nak. Kau layak mendapatkannya. Karena berani mencoba." Jawab sang guru lugas dan tangkas.
"Tapi di sekolah lamaku, ini bakal dapet nilai nol." Ujarnya lagi.
"Jangan kau bandingkan aku dengan dirinya. Karena itu sakit." Jawab sang guru dengan gaya jenaka menghadapi siswa baru yang raut mukanya penuh tanda tanya itu.
"Kenapa wajahmu sendu?" Kali lain sang guru bertanya melihat wajah salah satu siswinya cemberut mengamati buku latihan matematikanya.
"Nilai matematikaku tak baik." Ucapnya dengan mata berkaca-kaca sembari memperlihatkan latihan pada bab kecepatan itu. Tangannya tampak meremas lembaran buku yang berisi latihan yang telah dibuatnya.
"Biasa aja keles." Ujaran si guru cukup mengejutkan.
"Kalian semua tak mesti lihai dalam hitung menghitung kecepatan Nak. Jika naik mobil, itu ada alat penghitung kecepatannya. Begitu pun dengan motor dan kendaraan pada umumnya. So, apa yang kalian risaukan?" Ulasnya lagi diiringi tawa renyah. (Nyambung tak nyambung ya penjelasannya. Hehehe).Kalian tak mesti menguasai semua bidang Nak. Ahli di satu bidang saja cukup lah. Guna menopang kehidupanmu di masa depan nanti.
Petatah petitih guru muda itu membuat sinar cerah penuh harapan terpancar dari netra siswanya. Sang guru pun tersenyum ketika melihat siswa siswinya perlahan terbebas dari tekanan.
***
Petikan kisah di atas bukan sebuah ilustrasi belaka sahabat pembaca. Melainkan kejadian nyata yang terjadi di sebuah kelas yang diampu oleh seorang guru muda. Seorang guru perempuan yang kerap dianggap berbeda oleh lingkungannya.
Pantangan baginya membubuhkan nilai penghancur senyum siswa pada buku latihan mereka. Apa pun hasil tugas yang mereka kerjakan, tetap saja nilai memuaskan berhias bunga-bunga, sticker senyum dan bintang memenuhi lembaran tugas tersebut.