Mohon tunggu...
Herlina SA
Herlina SA Mohon Tunggu... Guru - Suka kopi, buku, dan puisi.

Penyuka kopi, buku, dan puisi. Menulis setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semua Tak Lagi Sama

23 Februari 2022   17:54 Diperbarui: 23 Februari 2022   17:58 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap kali kubangun pagi, aku selalu menemukan lelaki itu mengasah seringai dan seongok ruh di ujung tempat tidurnya. Lelaki yg sama, dengan senyuman yg sama. Lalu mata kami akan saling menatap, sesaat.

  "Kita sudah menikah", gumamku hanya dalam hati.

Kami sudah menjalani pernikahan selama beberapa bulan. Rasanya, ada banyak sekali perubahan dalam hidupku.
Di masa silam, sebelum menikah, aku tak pernah membayangkan akan berjibaku dengan tumpukan baju kotor, piring-piring berserakan, detergen bubuk yg membuat kulit mengelupas, serta tidur dengan lelaki baru yg baru kukenal hanya dalam waktu satu tahun. 

Aku tak pernah membayangkan akan berada dalam sebuah toko untuk melayani para pembeli, sambil membereskan barang-barang penuh debu, sampai bulu hidungku meronta-ronta meminta berhenti.

Suatu kali pernah terjadi, kalau sedang jengkel, kuseret tumpukan buku di meja kerjaku, tak perduli luka, atau sampai terbelah dua.

   "Ya Tuhan.. Tolong! Skripsiku juga belum selesai, aku juga sedang mengandung", gemamku lagi, kesal.

Kejengkelan dan rasa lelahku yg membuatnya menjadi seperti itu.
Namun, pada akhirnya, kupunguti kembali buku-buku yg berjatuhan itu. Membereskannya sambil menangis. Selalu menangis. Dan sebuah kerudung menutupi keningku yg basah, lalu kuseka dengan tangan berlumur debu.

     Tak seorang pun tahu kemurungan itu. Kecuali lelaki yg kuceritakan selalu mengasah seringai di ujung tempat tidurnya, "Kamu menangis?", "kamu kenapa?", katanya selalu diucapkan berulang kali.

**

"Perempuan itu cantik, di masa silam".

Sebelum menikah, aku tak pernah membayangkan akan berkacak di depan kompor, panas apinya mencucuh sampai kepada wajahku. Tak lupa, percikan minyak panas juga bersimburan mengguyur pergelangan tangan. Dan setelah selesai memasak, kubersihkan semua. Aroma bawang tak sedap menguar di udara, menempel di bajuku, di rambut, di sekujur tubuh.

Bagaimana pun, suamiku harus kuberi makan sebelum bekerja. Agar semangatnya terjaga, sampai siang hari tiba.

Suatu kali aku teringat, di masa sendiri, aku pernah makan disebuah restoran dengan pisau dan garpu. Serta bunga mawar putih dari plastik dalam gelas antik di tengah meja. Aku duduk dengan kaki menyilang anggun, lalu berbincang dengan kawan-kawanku, membicarakan masa depan.

     Setiap kali mematut diri di depan cermin, aku selalu bergumam dalam hati, "Lihatlah dirimu. Sekarang tak terawat".
Hal itu kulakukan setiap hari, di pagi hari, setelah suamiku pergi, sebelum aku berangkat bekerja membantu ibu mertua melayani pembeli.

**
Beberapa kali, ketika aku lelah, dan orang-orang di sekitarku membuat ulah, aku sangat ingin meneriaki mereka tepat di depan wajahnya.

"Ke toko siang mulu", celetuk mereka.

Padahal, di balik itu semua, aku menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengurus anak lelakinya dan rumah. Belum lagi kandunganku yg semakin hari semakin membesar, rasa mual dan badan lemas membuat waktu ku sisihkan untuk beristirahat sebentar.

Sesekali, aku sangat ingin duduk dekat lelaki itu sambil bercerita, betapa hari-hariku teramat melelahkan. Namun, keinginan itu takkan pernah kulakukan. Sebab, sepulang ia kerja, mata lelah yg sama kutemukan di matanya, mata suamiku.

Sebelum benar-benar memejamkan mata, kerap kali aku melihat diriku di masa lalu terbang di langit-langit, berjalan anggun di udara, dan selalu ada suara lembut berbisik di ambang kesadaran, "Kau adalah seorang istri yg cantik. Memang cantik."

**
Setelah bangun, aku menyadari hidupku tak lagi sama. Hari-hari ku akan berbeda. Orang-orang yg kutemui setiap harinya, adalah orang yg berbeda pula. Mereka memiliki karakter yg harus kuterima kekurangannya.
Bagaimana pun, hidup harus tetap kujalani.
Dan biarkan kepedihan menjadi puisi-puisi yg melepuh di mataku.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun