Bagaimana pun, suamiku harus kuberi makan sebelum bekerja. Agar semangatnya terjaga, sampai siang hari tiba.
Suatu kali aku teringat, di masa sendiri, aku pernah makan disebuah restoran dengan pisau dan garpu. Serta bunga mawar putih dari plastik dalam gelas antik di tengah meja. Aku duduk dengan kaki menyilang anggun, lalu berbincang dengan kawan-kawanku, membicarakan masa depan.
   Setiap kali mematut diri di depan cermin, aku selalu bergumam dalam hati, "Lihatlah dirimu. Sekarang tak terawat".
Hal itu kulakukan setiap hari, di pagi hari, setelah suamiku pergi, sebelum aku berangkat bekerja membantu ibu mertua melayani pembeli.
**
Beberapa kali, ketika aku lelah, dan orang-orang di sekitarku membuat ulah, aku sangat ingin meneriaki mereka tepat di depan wajahnya.
"Ke toko siang mulu", celetuk mereka.
Padahal, di balik itu semua, aku menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengurus anak lelakinya dan rumah. Belum lagi kandunganku yg semakin hari semakin membesar, rasa mual dan badan lemas membuat waktu ku sisihkan untuk beristirahat sebentar.
Sesekali, aku sangat ingin duduk dekat lelaki itu sambil bercerita, betapa hari-hariku teramat melelahkan. Namun, keinginan itu takkan pernah kulakukan. Sebab, sepulang ia kerja, mata lelah yg sama kutemukan di matanya, mata suamiku.
Sebelum benar-benar memejamkan mata, kerap kali aku melihat diriku di masa lalu terbang di langit-langit, berjalan anggun di udara, dan selalu ada suara lembut berbisik di ambang kesadaran, "Kau adalah seorang istri yg cantik. Memang cantik."
**
Setelah bangun, aku menyadari hidupku tak lagi sama. Hari-hari ku akan berbeda. Orang-orang yg kutemui setiap harinya, adalah orang yg berbeda pula. Mereka memiliki karakter yg harus kuterima kekurangannya.
Bagaimana pun, hidup harus tetap kujalani.
Dan biarkan kepedihan menjadi puisi-puisi yg melepuh di mataku.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H