Orang menjalani kehidupan sehari-hari dengan pola pikirnya sendiri. Dari pola pikirnya itu kita bisa melihat dengan nyata melalui perilakunya. Pola pikir yang beragam tersebut, bisa dipastikan tidak ada yang bisa mengubah cara pandang mereka sesuai dengan apa yang kita mau, kecuali orang tersebut mau mengubahnya sendiri. Tolak ukur kita menilai seseorang, atau diri sendiri pada umumnya kita melihat dari jumlah barang yang dimiliki. Yang artinya semakin banyak barang yang dimiliki oleh seseorang, maka akan semakin bahagia hidupnya. Jika demikian, bagaimana dengan para miliarder yang diberitakan malah memilih hidup sederhana? Dalam hidup kita bisa melihat dengan jelas bahwa, ada orang yang hidupnya berkecukupan, ada orang yang hidupnya pas-pasan, dan ada juga orang yang hidupnya terbatas. Namun ke tiga kelompok orang tersebut rasanya kita sama-sama menikmati perputaran bumi ini, kita juga merasakan hal yang sama contoh kecil jika lapar ataupun haus kita semua pasti meresponnya dengan cara yang sama. Intinya kita semua adalah manusia biasa yang menumpang di bumi ini.
Minimalis merupakan suatu tindakan hanya memiliki barang yang benar-benar dibutuhkan. Pelaku minimalis mengurangi jumlah barang yang dimiliki sampai pada tinggat paling minimum. Dulu sebelum saya menjadi minimalis, saya merasa bahagia jika memiliki barang dalam jumlah yang banyak, karena dengan memiliki jumlah barang yang banyak saya yakin harga diri saya akan bertambah. Rasa tidak puas atas apa yang saya miliki, membuat saya terus menambah barang. Saya merasa lebih percaya diri ketika orang-orang disekelilingku mengetahui apa yang saya miliki.
Setelah menerapkan gaya hidup minimalis, dimana saya hanya memiliki barang yang paling pokok diperlukan, tidak hanya memberi manfaat sebatas permukaan ruangan menjadi rapi atau kemudahan membersihkan rumah, tapi juga memberikan perubahan yang mendasar. Bagi saya, cara hidup ini memberikan saya kesempatan untuk merenungi arti bahagia.
Saya berpisah dengan barang yang relatif banyak, yang telah saya miliki bertahun-tahun. Toh, hari ini saya memiliki jiwa yang lebih riang. Saya yang sekarang merasa jauh lebih tenang dibandingkan dahulu. Mungkin saya terdengar berlebihan. Ada yang pernah berkata "kenapa mengenakan baju yang itu-itu saja?" tapi suatu hal yang saya yakini: Dengan memiliki sedikit barang, saya merasa semakin bahagia dari hari ke hari. Tapi jika kita mencoba membeli kebahagiaan hanya membuat kita senang untuk semantara waktu, kemudian tersesat saat untuk menemukan kabahagiaan sejati.
Semua orang mengawali hidup sebagai minimalis. Nilai diri kita tidak ditentukan oleh seberapa banyak barang yang kita punya. Barang bisa membuat kita senang, tapi tidak lama. Sementara itu barang yang tidak kita perlukan sebetulnya hanya menghabiskan waktu, energi, dan kebebasan. Sepertinya para minimalis sudah menyadari itu.
Pada zaman dahulu, barang digunakan untuk tujuan tertentu. Seiring berjalannya waktu, dunia menjadi lebih ramai dan barang mulai memiliki tujuan lain. Memang benar kita adalah makhluk sosial yang tentunya membutuhkan orang lain, kita tidak bisa tumbuh dan berkembang tanpa membuktikan bahwa kita mempunyai nilai. Kita memerlukan orang lain untuk mengakui kualitas diri kita agar kita yakin bahwa hidup ini layak dijalani. Orang biasanya menunjukan kualitas diri melalui barang-barang yang dimiliki. Jika kita bergantung pada cara tersebut, kita akan dikelilingi terlalu banyak barang. Barang yang seharusnya merepresentasikan kualitas diri justru menjelma menjadi diri kita sendiri. Pada akhirnya barang pun menjadi bumerang bagi kita, kita diperbudak oleh barang, dipaksa menghabiskan waktu dan energi untuk merawatnya. Inti diri kita larut dalam barang-barang tersebut. Barang-barang kita menguasai kita.
Barang-barang ini sendiri sebetulnya tidak mempunyai kekuatan apa-apa, kitalah yang mengangkat derajatnya, menjadikannya setara, bahkan lebih berkuasa. Barang tidak lebih dari benda mati, barang tidak lebih dari sekadar alat. Jadi mengapa kita tidak memiliki alat yang dibutuhkan saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H