Mohon tunggu...
Herlina Hesti
Herlina Hesti Mohon Tunggu... Guru - Fasilitator

Less is more

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menjadi Minimalis, Bagaimana Rasanya?

2 Juni 2023   12:15 Diperbarui: 3 Juni 2023   11:15 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup adalah pilihan, orang bebas menjalani hidup sesuai dengan pilihan masing-masing. Terlepas dari pilihan tersebut tentunya orang ingin menjalani sisa hidupnya dengan bahagia. Masing-masing orang mengekspresikan bahagia dengan cara yang berbeda-beda. 

Jika kita melihat dengan saksama pada umumnya orang merasa bahagia karena memiliki sesuatu yang mereka inginkan. Memang benar, ketika kita berhasil mendapatkan barang yang kita impikan akan membuat kita bahagia. 

Namun kebahagiaan itu akan pudar seiring berjalannya waktu, barang tersebut akan menjadi barang biasa seperti barang yang lain, lalu mendadak kita merasa butuh untuk kembali menambah barang baru. 

Hal tersebut terjadi berulang-ulang hingga ruang peyimpanan menjadi penuh bahkan kita sendiri bingung untuk menyimpan barang-barang tersebut. 

Namun tidak jarang juga kita menemukan orang dalam kesederhanaan memiliki jumlah barang yang sedikit dan multi fungsi dan menjalani hidup dengan baik seperti orang lain.

Minimalis adalah orang dengan gaya hidup yang sederhana, mereka yang mempunyai konsep hidup minimalis  biasanya hanya memiliki barang-barang yang benar-benar mereka butuhkan. 

Mereka yang memilih menjalani hidup minimalis tidak membeli sesuatu karena suka, karena murah, ataupun karena ada diskon. Tapi mereka membeli barang karena benar-benar dibutuhkan.

Minimalisme bukanlah sesuatu yang saya jalani sejak  dahulu. Sebelumnya, saya malah membeli banyak barang karena yakin bahwa segala sesuatu yang saya miliki akan meningkatkan harga  diri yang tentunya memberikan hidup yang lebih bahagia. 

Dengan konsep bahagia yang saya punya saya terus menambah barang ketika saat gajian, barang yang akan saya beli tersebut semuanya sudah terdaftar dalam benak jauh hari sebelum gajian. 

Ketika saya mendapatkan apa yang saya inginkan, memang benar saat itu juga saya merasa hidup lebih berwarna, biasanya saya selalu tersenyum melihat atau mengingat kembali barang baru miliki saya. 

Lambat laun barang tersebut menjadi barang biasa dan saya mulai rasa bosan dengan barang yang saya punya. 

Saya terus membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki barang lebih banyak ataupun lebih mentereng, perbandingan tersebut sering membuat saya kesal.

Mari saya deskripsikan seperti apa kos saya ketika itu. Kamar tidur yang berantakan karena saya selalu membongar penyimpanan baju saya saat pagi hari hendak ke kantor, saya meninggalkan tempat tidur di kamar kos dalam kondisi yang berantakan. 

Saya bisa membereskan ala kadarmya jika ada tamu yang akan berkunung. Kondisi dapur yang sama sekali tidak boleh dilihat oleh tamu karena dipenuhi oleh barang-barang dapur yang jarang saya gunakan dan tentunya sudah berdebu. Sementara itu saya masih membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki sesuatu yang belum saya miliki.

Dulu, saya tidak pernah menyadari bahwa sebenarnya saya memiliki segala sesuatu yang saya butuhkan untuk hidup layak. Saya terus menginginkan barang baru tanpa pernah puas. 

Sering kita berpikir bahwa kehidupan kita amat jauh berbeda dari gambaran ideal yang kita angankan, sampai-sampai kita merasa malang. Padahal pikiran semacam itu hanya membuat kita tidak bahagia. 

Saya memandang isi kos dan menghela napas, sambil berpikir saya tidak punya segalanya yang saya pikir saya inginkan, "kanapa tidak ada tempat tidur yang ternyaman dan besar seperti orang-orang, kenapa tidak ada TV biar bisa menonton berbagai saluran TV yang sama mau." Ternyata justru sebaliknya yang benar adalah saya sudah mempunyai segalanya.

Kita terbiasa dikelilingi oleh barang, kita semua tahu jawaban dari pertanyaan itu. Kita pada akhirnya terbiasa dengan kondisi mendapatkan semua hal yang kita inginkan. 

Perlahan kita mulai menyepelekan barang, hingga akhirnya kita bosan melihat sesuatu yang kita punya. Hal tersebut terjadi berulang kali hingga menjadi semakin banyak. Barang tidak hanya diam di tempatnya. 

Barang mengirimkan pesan-pesan sunyi. Semakin lama suatu barang diabaikan, semakin kuat pesan yang dikirimkannya. 

Bisikan dari tumpukan sepatu, tas, aksesori, peralatan dapur, dan pakaian yang jarang digunakan barang-barang tersebut seolah-olah menatap dan berkata, kapan kamu mengenakan saya, rasanya selama ini kamu sudah jarang mengenakan saya. 

Pesan sunyi tersebut, berubah menjadi tugas tambahan untuk memperhatikan barang dengan membersihkan barang-barang tersebut. 

Saya kemudian berjanji untuk membersihkan ketika akhir pekan atau hari libur namun ketika jadwalnya tiba saya menemukan diri saya dengan berbagai alasan untuk menunda merapikan barang di sekeliling saya. 

Saya hanya menemukan suasana terbaik adalah "lebih baik saya berisitirahat,"sambil membayangkan jumlah barang yang harus dibersihkan.

Greeners.co
Greeners.co

Pada akhirnya dalam penundaan panjang, saya memaksakan diri untuk memberihkan barang-barang tersebut. 

Saat itu saya menemukan barang dalam kondisi menyedihkan karena berdebu, sebagian berkarat, dan juga baju-baju tidak layak pakai karena sesak, sobek, bahkan ada beberapa pakaian yang tidak layak pakai karena sempit, sebagian besar masih bagus untuk dikenakan hanya jarang digunakan dengan alasan tidak suka. 

Saya kemudian merapikan kembali, membersihkan yang berdebu, ataupun yang sudah karat, menyimpan kembali pakaian yang jarang saya kenakan ataupun rusak dengan alasan bahwa suatu saat nanti akan saya kenakan. 

Kata suatu saat adalah sesuatu yang belum tentu terjadi, jika suatu saat yang saya maksudkan tersebut benar-benar terjadi kenapa harus dipikirkan sekarang. Saya hanya mau menjalani hidup saat ini, sekarang ini.

Dari pengalaman hidup saya sebelumnya, saya akhirnya menyadari bahwa barang adalah teman kamar dimana tempat tinggalnya saya yang biayai. 

Kenapa saya begitu disibukan untuk menjaga barang atau benda mati yang saya tidak pakai (tidak bermanfaat) saya juga menyadari bahwa saya sudah diperbudak oleh barang. 

Saya harus menghabiskan banyak waktu dan energi untuk merawat serta mengelolah semua barang. Tidak hanya itu, tempat tinggal saya pun menjadi sempit.

Dari pengalaman ini saya memutuskan untuk menyingkirkan barang yang tidak digunakan, hanya memilih barang yang benar-benar saya butuhkan. 

Proses berpisah dengan barang awalnya memang sulit karena harus berpisah dengan barang kesukaan saya. Pada akhirnya, saya mengambil tindakan dan mengarah kepada kebahagaiaan. 

Saya mulai mensortir semua barang yang benar-benar saya butuhkan. Sisanya saya berikan kepada orang yang membutuhkan, sebagian saya buang. Saya jadi teringat pada sebuah kalimat yang mengatakan "lebih baik menyesal karena melakukan sesuatu, ketimbang menyesal karena tidak melakukan apa-apa." 

Saya mendefinisikan kalimat ini bahwa, jika saya tidak mengambil tindakan menjadi minimalis, maka saya tidak akan merasakan efek kebahagiaan dari menjalani hidup minimalis.

Setelah memiliki jumlah barang yang relatif sedikit hidup saya jauh lebih mudah, saya menjalani hari-hari jauh lebih semangat dimana saya menjadi pribadi yang jauh lebih rajin. 

Saat pagi hari hendak bekerja saya tidak lagi menghabiskan waktu untuk membongkar pakaian milik saya untuk menemukan pakaian kesukaan saya, karena memang jumlah pakaian yang saya punya sedikit dan semuanya saya suka.

Saya langgung mencuci peralatan dapur sehabis menggunakan, sering saya mencuci pakaian pada pagi hari dengan baik dan penuh hati-hati sebelum ke tempat kerja. Membersihkan tempat tinggal jauh lebih muda karena saya tidak mempunyai banyak barang yang menjadi penghalang untuk berberes.

Dengan memiliki barang yang sedikit, saya tidak lagi membandingkan diri dengan orang lain. Saya merasa bersyukur atas apa yang saya punya, rasa tamak untuk memiliki barang baru seketika hilang. 

Biaya hidup malah lebih rendah. Memiliki sedikit barang saya sangat terbantu katika saat bepergian, saya tidak direpotkan lagi oleh barang. Ketika ingin membeli sesuatu yang baru berarti saya harus mengeluarkan barang yang lama entah itu karena sudah bosan ataupun barang tersebut rusak. 

Memiliki barang yang sedikit pikiran jauh lebih tenang ketika meninggalkan tempat tinggal dalam waktu yang lama karena barang yang saya tinggalkan bukanlah barang yang berharga, jika suatu ketika barang tersebut hilang bagi saya tidak menjadi suatu masalah yang besar karena saya bisa menggantinya kembali dengan mudah dan dimana saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun