Era digital memang dikenal sebagai era yang serba cepat dan instan, di mana kita telah mengalami banyak perubahan yang terjadi secara signifikan dari era sebelumnya. Salah satu perubahan yang paling mencolok ialah cara kita berinteraksi dan berkomunikasi pada generasi anak bangsa saat ini.Â
Generasi Aplha, bisa dibilang anak dari generasi Millenials dan adik dari generasi Z. Kelompok yang masuk ke dalam generasi ini kelahiran di tahun 2010 hingga 2025 (The Big Data, 2024).Â
Generasi Alpha, yang kita ketahui lahir di tengah perkembangan teknologi yang canggih, menghadapi tantangan baru dalam menjaga nilai-nilai sosial yang telah ada. Karena hadirnya handphone, media sosial dan berbagai aplikasi lainnya telah membawa semua hal menjadi mudah.
Digitalisasi selain menawarkan berbagai kemudahan dan efisiensi, tetapi juga membawa dampak negatif yang signifikan terhadap interaksi sosial. Anak-anak generasi Alpha lebih terbiasa berkomunikasi melalui layar gadget daripada berbicara langsung dengan orang di sekitar mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan pada teknologi dapat mengurangi kemampuan mereka untuk menerapkan budaya 5S.Â
Hal ini dibuktikan maraknya kasus cyberbullying sebanyak 45% dari 2.777 anak yang mengaku pernah menjadi korban pada kasus ini (UNICEF, 2021). Anonimitas di dunia maya sering kali membuat orang merasa lebih bebas untuk berkata kasar atau tidak sopan, namun ternyata justru dengan bebasnya hal tersebut membuat berkurangnya norma kesopanan dan kesantunan.
Dulu, interaksi tatap muka dan budaya 5S sering diajarkan untuk memiliki norma kesopanan seperti halnya mengucapkan permisi ketika melewati orang yang lebih tua dengan sopan. Namun sekarang, banyak anak yang lebih fokus pada layar gadget mereka daripada lingkungan sekitar yang mana hal ini justru menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti senyum, salam, sapa, sopan dan santun mulai terabaikan. Akan tetapi, tidak semua dampak dari digitalisasi bersifat negatif. Teknologi juga bisa digunakan untuk mengajarkan dan mempromosikan 5S dengan catatan di awasi oleh orang tua. Misalnya, aplikasi edukatif yang  mengajarkan anak-anak tentang pentingnya 5S bisa menjadi salah satu cara untuk mengintegrasikan nilai-nilai tersebut. Upaya ini memang belum terbilang berhasil secara sempurna, akan tetapi setidaknya bisa memberikan asupan secara berkala sedikit demi sedikit.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Nuha, seorang mahasiswa jurusan ekonomi syariah di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang melihat adanya potensi positif dalam penggunaan teknologi untuk mempromosikan nilai-nilai 5S.
"Di era digital ini, kita engga bisa menghindari kemajuan teknologi yang semakin pesat. Namun, kita juga harus bijak dalam menggunakannya. Saya percaya adanya pengawasan yang tepat, teknologi dapat menjadi alat yang efektif untuk menanamkan nilai 5S pada anak-anak."
Menurunnya budaya 5S di era digitalisasi adalah fenomena yang kompleks dan memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif antara orang tua, pendidik, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung penerapan budaya 5S.Â
Salah satu solusi yang bisa diambil adalah dengan memperkuat pendidikan karakter di sekolah. Kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai 5S dalam kegiatan sehari-hari dapat membantu anak-anak memahami pentingnya kesopanan dan santun dalam interaksi sosial.Â