Terik matahari memancar liar dari atas langit. Sisa rintik-rintik air dari derasnya hujan semalam tak mampu halau hawa panas yang dirasakan para pedagang dan pengunjung pasar. Waktu menunjukkan pukul 12.20 WIB. Sebagaimana pasar tradisional pada umumnya, hiruk pikuk perbincangan dan proses tawar menawar harga pun dirasakan di Pasar Gede, Solo.
Menjelajahi gang-gang sempit Pasar Gede, kami mencoba suasana new normal atau kenormalan baru. Perlengkapan perang lengkap pun kami pastikan terbawa yakni masker, hand sanitizer serta uang pas di saku. Suasana pasar yang biasanya cukup ramai pengunjung terpantau lenggang.Â
Aroma khas pasar yang campur aduk pun menyapa indera penciuman. Wangi dawet selasih, bercampur dengan aroma mpon-mpon, ikan asin dan amisnya daging ayam. Tidak seperti pasar modern di mall, belum ada zonasisasi ketat untuk para pedagang. Alhasil, penjual lenjongan masih sederet dengan penjual ayam potong dan penjual dawet berdesakan dengan pedagang sayur dan snack.
Pengelola pasar pun telah menyediakan wastafel dan sabun untuk cuci tangan pengunjung. Namun, social/physical distancing atau jaga jarak memang lumayan sulit dilakukan di pasar. Lebar gang yang hanya semeter serta lay out pasar sulit untuk mendukungnya.
Kami pun terus melangkah mencari sejumlah makanan dan minum tradisional khas Solo yang tersebar di sudut-sudut pasar. Adalah Rut Tukus Subekti yang akrab disapa bu Utit, 51, sosok di balik jajanan Dawet Telasih Bu Dermi yang melegenda. Ia adalah generasi ketiga yang kini meneruskan usaha es dawet yang mulai berjualan sejak tahun 1930-an di Pasar Gede.Â
Menggunakan sebuah meja kayu yang terbuat dari papan triplek berukuran panjang 1,5 meter, Bu Utit dengan cekatan melayani pelanggannya dibantu 2 asistennya. Sesuai protokol Kesehatan, mereka menggunakan masker dan sarung tangan. Pembelipun diminta menjaga jarak saat 'ngiras' atau minum dawet Selasih Yu Dermi ini. Bu Utit setiap harinya membuka warung es dawet hingga pukul 15.00 WIB. Semangkuk es dawet dipatok harga sebesar Rp 9.000. Â
Pengunjung dawet yang biasanya selalu ramai dan mengantri terlihat lumayan sepi. Tak berapa lama pesanan kami datang, dan kami bayar dengan uang pas. Maklum uang kembalian dari pedagang pasar pasti dalam kondisi kumal, kotor dan bau sehingga rawan sebagai media penularan Covid-19. Bu Utit pun senang menerima lembaran uang baru yang kami sodorkan.
Jelajah pasar kami lanjutkan menuju jajanan pasar bernama Lenjongan. Lenjongan merupakan kuliner khas Solo yang sering diburu para pecinta kuliner ketika berkunjung ke kota ini selain Dawet Selasih. Satu di antara penjual lenjongan yang berjualan di Pasar Gede adalah Yu Sum.Â
Jajanan pasar yang biasanya ada dalam lenjongan adalah tiwul, sawut, klepon, ketan hitam, ketan putih, gethuk, cenil, gendar, gatot, dan lain sebagainya. Yu Sum menjual lenjongan buatannya seharga Rp 5.000,00 per porsinya.Tak hanya menjual lenjongan, Yu Sum juga menjual kuliner khas Solo lainnya. Sebut saja grontol, brambang asem, jenang, wajik, jadah londo, dan lain sebagainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H