Mohon tunggu...
Chakra Siregar
Chakra Siregar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni Mekanisasi Pertanian Universitas Brawijaya. Sedang konsern dengan masalah kebudayaan daerah dan pemecahan masalah yang terkait dengan daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masih Buruh Tani

20 Maret 2011   10:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:37 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia yang sejak dahulu selalu terkenal dengan negara agraris akhirnya sudah mengalami pergeseran yang signifikan dengan secara tidak langsung lebih mengutamakan sektor industri, entah kemajuan atau blunder, tapi hingga saat ini sektor industri tetap belum bisa meningkatkan kesejahteraan Indonesia karena industri yang dilakukan masih berupa industri dengan raw material didominasi oleh barang import.
Pertanian yang seharusnya menjadi sektor yang dimuliakan hingga kini tetap menjadi pilihan terakhir dalam meningkatkan perekonomian negara, begitu juga yang terjadi pada petani, selalu menjadi pihak terakhir yang diangkat kesejahteraannya dan dirangkul oleh pemerintah. Dengan menjadikan Indonesia sebagai negara industrialis sudah tentu sktor pertanian hanyalah menjadi sektor yang menyokong kebutuhan pangan untuk negara dan jika dilihat dari berbagai peraturan pemerintah yang dikeluarkan belakangan ini, seperti untuk perizinan tanaman pangan, asuransi petani dan juga bahkan peraturan pemerintah yang menjadikan Merauke sebagai daerah food estate dapat disimpulkan bahwa pemerintah lebih menyukai sektor pertanian dikuasai korporat swasta dan juga invesotr asing tanpa memperhitungkan dampak beberapa tahun kedepan.

Petani di Indonesia yang hampir semuanya adalah petani gurem tentu merasa lebih berat dalam menjalankan usaha taninya dengan adanya persaingan dari korporat-korporat besar. Bagaimana tidak, misalnya saja dalam proses persiapan lahan untuk tanaman padi, tentu para petani biasa harus terlebih dahulu menyewa traktor, menyewa pompa, menyewa tenaga kerja dan bahkan harus menunggu pupuk bersubsidi dari pemerintah untuk pemupukan. Sedangkan korporat-korporat besar sudah tentu merencanakan segalanya dan juga menyiapkan semuanya dengan baik dan otomatis tidak perlu memikirkan penyewaan-penyewaan dimana semua sudah tersedia.

Sulit petani, lebih sulit lagi kehidupan bagi para buruh tani yang mana hanya digunakan sebagai pekerja pada proses bertani, tanpa memiliki lahan sendiri namun terpaksa bertani untuk mencukupi kebutuhan hidup atau mungkin karena tradisi yang mendarah daging yang tidak dapat melepaskan kerja tani dari kehidupannya. Buruh tani, mulai dari para penanam, perawat tanaman, pemanen dan lain sebagainya adalah elemen pertanian yang hingga kini belum mendapat perhatian serius, bahkan jauh lebih sejahtera buruh bangunan ataupun buruh pabrik yang sudah jelas dijamin dalam sebuah kontrak kerja dan juga ada lembaga yang jelas yang menangani perburuhan di bidang tersebut. Kesulitan buruh tani juga ditambah lagi dengan berbagai macam inovasi dan teknologi yang mengancam menggantikan posisi mereka sebagai pekerja di bidang pertanian, hal inilah yang menyebabkan di beberapa daerah penerapan teknologi pertanian tidak bisa dilakukan secara sempurna dikarenakan dari aspek sosial masyarakat petani sendiri yang menolak penerapan taknologi yang ditawarkan.

Land Reform sebagai solusi terbaik bagi para buruh tani untuk bisa lebih meningkatkan kreativitasnya bekerja dalam proses bertani dengan memiliki lahan sendiri pun ternyata masih retorika belaka karena belum ada kejelasan dimana lahan tersebut dan kapan bisa digunakan. Lahan berjuta-juta hektar yang diisukan pemerintah akan diberikan kepada para petani, khususnya buruh tani, tentu akan menjadi solusi paling baik dalam peningkatan usaha tani, namun disisi lain bisa saja menjadi kesalahan fatal akibat perubahan pola pikir petani yang kini sering terbukti banyak petani yang memilih mengalihfungsikan lahannya menjadi tanah untuk bisnis propertis dibanding mengolahnya dengan strategi yang mantap untuk dapat memperoleh keuntungan dari usaha taninya tersebut.

Pengalihan fungsi lahan pertanian sendiri diakui oleh petani merupakan alternatif terbaik karena walaupun mereka tetap melakukan usaha tani mereka pada akhirnya produk tani yang mereka hasilkan tidak dapat memastikan keberlangsungan hidup mereka akibat harga yang belum jelas dan juga ketidakmampuan mereka mengolah produk mereka sendiri menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Selain itu di kota-kota besar godaan untuk merubah lahan pertanian untuk menjadi lahan pemukiman amat menggiurkan bahkan dukungan datang dari banyak pihak untuk merubah peruntukan lahan pertanian menjadi lahan pemukiman.

Hal-hal diatas seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan juga kita khususnya para insan mekanisasi pertanian untuk mengarahkan dan merubah pola pikir petani dan buruh tani untuk lebih mengisi sektor off-farm dalam rangka meningkatkan efisiensi proses budidaya dan juga meningkatkan kreativitas petani dan buruh tani dalam mengolah produk pertanian mereka menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan juga menjadi pemberi kepastian bahwa usaha tani juga usaha yang mampu "menghasilkan". Namun kembali lagi, harus ada i'tikad baik dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, petani dan juga banyak pihak lainnya yang terlibat dalam proses peningkatan pertanian ini menjadi pertanian yang maju, berkelanjutan dan lebih bermartabat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun