Bertambahnya penduduk di Indonesia yang tidak linier dengan bertambahnya pasokan pangan negara adalah hal utama yang menjadi alasan dicanangkannya Merauke Integrated Food and Energi Estate (MIFEE). MIFEE pada dasarnya adalah program pengembangan usaha tani khususnya pada tanaman pangan dan juga usaha pemenuhan sumber energi negara yang dilakukan dalam skala besar di kabupaten Merauke. Program yang diresmikan oleh Bupati Merauke pada 12 Februari 2010 ini sebetulnya program yang dicanangkan pemerintah sejak lama untuk mengantisipasi krisis berkepanjangan di bidang pangan dan energi. Menurut Menteri Pertanian, salah satu solusi yang digunakan pemerintah untuk mengatasi ancaman krisis pangan dan energi itu adalah mengembangkan daerah diluar Jawa, dalam hal ini Papua bagian selatan.
Program MIFEE adalah bagian dari amanat Inpres No. 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi dan Inpres No. 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Selain itu dalam masalah pengembangannya, MIFEE didukung penuh oleh pemerintah pusat dengan mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengatur pengusahaan budidaya tanaman dalam skala luas dalam PP No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman yang juga dianggap banyak pihak sebagai payung hukum dalam berinvestasi pada proyek food estate ini. Setelah sebelumnya hanya dimasukkan dalam Peraturan Presiden No 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka yang merupakan bagian dari operasionalisasi Undang-undang No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) yang disahkan bulan September 2009 lalu dimana UU PLP2B ini memberi ruang yang luas kepada pihak korporasi untuk berinvestasi dan memiliki lahan pertanian pangan.
Mengapa Merauke?
Pemilihan Merauke sebagai daerah food estate pada dasarnya dikarenakan kawasan ini mampu menyediakan pasokan bahan pangan dalam negeri dan juga mampu untuk mengekspor ke luar negeri dengan perkiraan kasar sebesar 1,95 juta ton per tahun, jagung (2,20 juta ton), kedelai (167.000 ton), ternak (64.000 ekor), gula (2,5 juta ton), dan CPO (937 ton). Selain itu dengan pengembangan food estate di Merauke ini pemerintah berasumsi peningkatan infrastruktur dan juga perekonomian daerah bisa tercapai selama program ini berlangsung. Dengan pengembangan lahan dalam skala luas sudah tentu infrastruktur sekitar daerah tersebut harus dikembangkan yang secara tidak langsung mempercepat kemajuan infrastruktur Papua pada umumnya. Pengembangan pertanian skala besar ini juga dianggap akan meningkatkan usaha agribisnis daerah yang selama ini masih tersendat dimana pemerintah menawarkan konsep kemitraan antara masyarakat petani lokal dengan investor untuk dapat memajukan perekonomian lokal dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Progress Hingga Saat Ini
Program MIFEE hingga saat ini mulai memasuki tahap pertamanya dimana terbagi menjadi 4 lokasi atau yang kini disebut sebagai Kawasan Sentra Produksi Pertanian (KSPP) yaitu Bian, Yeinan, Kumbe dan Merauke. Dan dalam pemenuhan targetnya dalam 4 kawasan ini dikembangkan padi, tebu, jagung, kacang-kacangan serta dimulai juga usaha ternak dan perikanan.
Sebagai contoh, salah satu perusahaan yang mulai bergerak dalam program MIFEE ini adalah PT. Sumber Alam Sejahtera dibawah Group Artha Graha yang memulai kegiatannya di KSPP 1. PT SAS mendapatkan jatah pencadangan lahan seluas 2.500 ha di distrik Kurik, Kampung Obaka, Merauke. “Sejak September 2008 lalu, kami telah melakukan uji coba penanaman padi hibrida Bernas Super, Prima dan Rokan, dengan hasil rata – rata 8,6 ton GKP (Gabah Kering Panen)/Ha,” ujar Direktur PT SAS Heka Widya A Hertanto. Menurut Heka, pihaknya saat ini terus mengembangkan luasan penanaman padi hibrida di wilayah tersebut. Selain mengembangkan areal tanam padi hibrida, PT SAS juga telah melakukan uji coba pengembangan penanaman kedelai, hortikultura dan peternakan sapi.
Para Investor
Hingga saat ini terdapat tujuh perusahaan besar yang sudah memulai melakukan kegiatan di Merauke yakni Wilmar International, Rajawali, Group Murdaya Poo, PT Bangun Tjipta Sarana, Sinar Mas Group, dan Group Artha Graha. Ketujuh perusahaan besar itu sudah memulai kegiatannya meski baru pada tahap awal. Sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) juga menyatakan minatnya untuk berpartisipasi pada program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau lebih dikenal dengan program food estate. Empat BUMN yang telah meninjau lahan di Merauke dan menyatakan siap berpartisipasi di food estate adalah PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), dan PT Padi Energi Nusantara.
Sedangkan pihak-pihak yang siap menanamkan modal di program MIFEE hingga saat ini setidaknya ada enam swasta nasional yang sudah siap. Investor tersebut adalah Bangun Tjipta, Medco Grup, Comexindo Internasional, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama, dan Wolo Agro Makmur. Bahkan, investor asal Arab Saudi, dari kelompok usaha Binladen sempat menengok tanah Merauke. Nama-nama ini bertambah panjang jika kita melihat daftar yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perijinan Merauke.
Kesiapan Pemerintah Dalam Pengembangan Food Estate
Untuk pengembangan food estate pemerintah ternyata tidak begitu saja membuang konsep mentah-mentah, namun ternyata cukup dikaji mendalam pada tahap perencanaannya. Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian Hilman Manan mennyatakan bahwa pendekatan pengembangan food estate di Merauke ini dirancang berdasarkan empat pendekatan. Pertama, pengembangan wilayah atau klaster. Kedua, pendekatan integrasi sektor dan subsektor. Ketiga, pendekatan lingkungan berkelanjutan dan keempat, pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal. Pendekatan program pengembangan wilayah dilakukan secara terpadu antar sektor terkait yang dikelola dengan satu sistem manajemen terpadu, dengan pengembangan klaster sentra produksi pertanian (KSPP) serta penetapan komoditas unggulan berdasarkan potensi dan kesesuaian lahan.
Pendekatan integrasi sektor dan subsektor dilakukan untuk mengatasi kendala keterbatasan infrastruktur publik dan pewilayahan komoditas pangan didasarkan kepada kajian dan pemetaan agro ecological zone (AEZ). Sementara pendekatan lingkungan berkelanjutan, melalui penataan alokasi pemanfaatan ruang yang seimbang antara kepentingan konservasi lingkungan dan kepentingan usaha budidaya tanaman pangan dan energi.
Menurut Hilman pemerintah telah memberikan pengarahan kepada para investor bahwa pengembangan kawasan agar memperhatikan sejumlah prinsip dan kaidah konservasi. Beberapa hal tersebut adalah tidak berada di kawasan hutan konservasi atau lindung serta hutan produksi bervegetasi baik. Selanjutnya tidak berada di area penting bagi lingkungan seperti High Conservation Value Forest dan kawasan gambut. Tidak berada pada tempat penting masyarakat adat seperti tempat sakral, sumber air, dan konservasi adat. Selain itu, dua hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah dari sisi pendekatan lingkungan diarahkan agar lokasi pengembangan diprioritaskan ada kawasan dengan status alokasi penggunaan lainnya (APL) dan hutan produksiyang dapat dikonversi (HPK).
"Untuk mengurangi lepasnya CO2 ke udara yang dapat berkontribusi pada pemanasan global akibat pembukaan lahan pada kawasan food and energy estate, maka dilakukan mitigasi emisi karbon dengan penerapan prinsip pembukaan lahan tanpa dibakar." Hilman menambahkan pengembangan pangan dan energi skala luas di Merauke wajib melalui kemitraan antara masyarakat lokal dan investor. "Dengan demikian prinsip berkembang bersama sebagai kesatuan mitra pembangun dan mitra usaha, dengan tetap memperhatikan kearifan lokal, terus terjaga" tuturnya.