Meski Orde Baru telah tumbang, stigma terhadap rambut gondrong tetap hidup hingga kini. Di era digital, sentimen seperti "Gondrong doang gak nyopet" atau "Gondrong doang gak ngebegal" sering kali dilontarkan langsung kepada mereka yang berambut gondrong. Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan betapa stigma negatif warisan Orde Baru masih merajalela, menjadi alat untuk mengontrol kebebasan individu dalam memilih ekspresi.
Ironisnya, beberapa institusi pendidikan masih melarang rambut gondrong atas nama "kedisiplinan." Kebijakan ini tidak berbeda jauh dari razia BAKOPERAGON: bentuk kontrol yang mengutamakan seragamitas daripada keberagaman. Bukankah pendidikan seharusnya menjadi ruang kebebasan berpikir, bukan pembatasan ekspresi individu?
Refleksi untuk Generasi Kini
Sejarah pelarangan rambut gondrong adalah pelajaran berharga tentang bahaya kontrol berlebihan. Larangan ini menunjukkan bahwa pembatasan kecil dapat menjadi alat untuk menekan kebebasan yang lebih besar. Institusi pendidikan perlu merefleksikan aturan-aturan yang mereka terapkan: apakah aturan itu menumbuhkan kebebasan berpikir, atau justru mematikan potensi anak muda?
Kita tidak butuh kampus yang sibuk mencukur rambut, tetapi institusi yang mau menumbuhkan kebebasan, seperti rambut yang dibiarkan tumbuh liar namun tetap indah. Sebab, kebebasan berekspresi adalah akar dari pembelajaran sejati, dan mempertahankannya adalah tugas kita bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H