Mohon tunggu...
Herlambang
Herlambang Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Larangan Rambut Gondrong: Warisan Orde Baru yang Terus Hidup

23 Januari 2025   23:40 Diperbarui: 23 Januari 2025   23:40 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papan Larangan Berambut Gondrong (Sumber: KASKUS)

Sekitar setahun yang lalu, seorang dosen senior di kampus memberikan perintah mutlak agar saya memotong rambut gondrong yang dianggapnya tidak mencerminkan "seorang pelajar." Katanya, jika saya tidak kunjung memangkas rambut, saya tidak diperkenankan mengikuti Ujian Akhir Semester. Sorot matanya seolah ingin mengatakan bahwa semakin panjang rambut saya, maka semakin rendah pula kemampuan intelektual saya.

Saya kebingungan perihal konsepsi "seorang pelajar" yang dimaksud. Pertanyaan spontan pun mengemuka di pikiran: apakah seseorang yang lebih percaya diri dengan rambut gondrongnya tidak layak mendapatkan pengetahuan? Bukankah koruptor yang jelas-jelas tidak mencerminkan "seorang pelajar" justru tampil rapi, klimis, dan botak berkilau seperti bola yang ingin kita tendang ke gawang penjara?

Pertanyaan itu mendorong saya untuk menggali lebih dalam. Melalui buku Yang Kelewat di Buku Sejarah karya Fadlia Hana dkk., saya menemukan bahwa pelarangan rambut gondrong di Indonesia bukan sekadar perkara estetika. Ini adalah bagian dari sejarah panjang kontrol sosial dan politik yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru. Pada masa itu, rambut gondrong dianggap sebagai simbol pemberontakan, kebebasan berpikir, dan semangat anti-otoritarianisme yang tidak sejalan dengan agenda pemerintahan.

Kebijakan Kontrol terhadap Rambut Gondrong

Kebijakan pelarangan rambut gondrong mulai mencuat pada awal 1970-an, di mana rambut gondrong diidentifikasi sebagai simbol anak muda yang "nakal" dan "tidak patuh." Media kala itu mengasosiasikan rambut gondrong dengan dekadensi moral, bahkan menganggapnya ancaman terhadap ketertiban umum dan kedaulatan negara. Pemerintah, yang paranoid akan pengaruh budaya Barat, melancarkan kampanye besar-besaran untuk memberantas rambut gondrong, menjadikannya musuh publik nomor satu di kalangan anak muda.

Untuk menegaskan sikap ini, pemerintah membentuk Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (BAKOPERAGON), sebuah lembaga resmi yang bekerja sama dengan aparat negara. Aparat ini bergerak dengan brutal; dari jalan raya hingga kampus, siapa pun yang tertangkap berambut gondrong langsung dicukur di tempat. Ironisnya, mereka mengabaikan pelanggaran moral besar lainnya seperti korupsi atau perjudian. Anak muda yang dirazia bertanya-tanya: mengapa rambut kami menjadi masalah, sementara perilaku bejat para pejabat dibiarkan merajalela?

Penyeragaman sebagai Alat Kekuasaan

Puncak ketegangan terjadi pada September 1970, ketika razia rambut gondrong memasuki Institut Teknologi Bandung (ITB). Para taruna dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) bergantian memangkas rambut para mahasiswa. Tak butuh waktu lama untuk membuat mahasiswa ITB kesal dan menggalang protes besar-besaran. Mereka merasa harga diri direndahkan oleh kebijakan ini.

Untuk meredakan ketegangan, aparat mengadakan pertandingan sepak bola antara taruna dan mahasiswa. Namun, pertandingan ini malah berakhir ricuh. Tragisnya, seorang mahasiswa ITB, Rene Louis Coenraad, tewas terkena peluru aparat. Coenraad, yang kebetulan melintas tanpa terlibat protes, menjadi simbol kebrutalan pemerintah. Tragedi ini dikenal sebagai Peristiwa 6 Oktober 1970 dan menjadi titik balik perlawanan mahasiswa.

Kematian Coenraad menggugah solidaritas mahasiswa. Jika sebelumnya mereka hanya memprotes larangan rambut gondrong, kini kritik mereka meluas hingga kebijakan pembangunan yang timpang, eksploitasi rakyat oleh investasi asing, hingga peran militer yang dominan dalam politik. Bukannya meredam perlawanan, larangan rambut gondrong justru menyulut api pemberontakan yang lebih besar.

Stigma yang Masih Bertahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun