Mohon tunggu...
Herlambang
Herlambang Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengapa Pemerintah Terkesan Lamban dalam Merampas Aset Koruptor?

5 Januari 2025   21:57 Diperbarui: 5 Januari 2025   21:57 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover buku "Merampas Aset Koruptor: Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia" karya Dr. Muhammad Yusuf.

Kala duduk di halaman rumah di bawah mentari pagi, saya menyantap sarapan berupa berita-berita korupsi yang tak berkesudahan. Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi terasa seperti usaha yang melelahkan tanpa ujung, bagaikan batu besar yang didorong Sisyphus ke atas tebing yang terjal dan curam, hanya untuk kembali jatuh ke dasarnya. Setiap kali satu kasus diatasi, kasus baru muncul, menghancurkan harapan sebelum sempat mencapai puncak keberhasilan.

Terlebih, baru-baru ini terdengar ungkapan dari RI 1 yang menyebutkan bahwa koruptor memiliki peluang untuk dimaafkan. Pernyataan ini di telinga saya tak lebih dari "batu besar" yang kembali jatuh ke dasarnya. Ke depannya sudah bisa ditebak: para tikus berdasi akan semakin semangat merampok uang rakyat, dan jika ketahuan, tinggal kembalikkan saja uangnya, nanti juga dimaafkan kok. 

"Coba saja dulu, semoga tidak ketahuan," ucap si tikus berdasi dalam hati.

Saya rasa, menu sarapan pagi yang tidak mengenakkan ini perlu dilanjut dengan hidangan penutup yang menyegarkan. Setidaknya menyegarkan hati, mental, dan pikiran yang mulai terasa tak sejalan dengan langkah-langkah pemerintah.

Maka dari itu, saya memilih buku "Merampas Aset Koruptor: Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia" karya Dr. Muhammad Yusuf sebagai hidangan penutup. Buku ini sangat menyegarkan, di mana sang penuang (baca: penulis) menyebutkan bahwa perampasan aset koruptor adalah langkah krusial dalam pemberantasan korupsi yang seringkali diabaikan.

Saya merasa sepakat dengan sang penuang, bahwa selama ini koruptor yang sudah merampok kekayaan negara tetap bisa menikmati hasil curang mereka, sementara rakyat semakin terhimpit oleh kesulitan. Aset yang seharusnya dirampas tidak pernah sampai ke tangan negara atau rakyat, dan hukum yang ada seolah tak cukup kuat untuk mencegah para elit ini kembali bermain dengan uang rakyat.

Sayangnya, perampasan aset tersebut tidak dapat dilaksanakan karena masih terbengkalainya payung hukum yang diharapkan, yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset---yang bahkan tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025.

Oleh karena itu, ketika seorang koruptor hidup nyaman dengan hasil jarahannya, sementara rakyat harus bertahan dengan berbagai penunjang kehidupan yang serba minim, wajar jika saya bertanya: mengapa pemerintah lambat mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset? Apakah ini karena ketakutan menghadapi para elit koruptor, atau karena pemerintah sendiri menjadi bagian dari sistem yang melindungi mereka?

Sejak Indonesia meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, janji pemberantasan korupsi terus didengungkan. Salah satu pilar utama UNCAC adalah asset recovery---pemulihan aset hasil kejahatan korupsi---yang diatur dalam Bab V (Pasal 51-59). Namun, hingga kini, Indonesia belum memiliki kerangka hukum yang cukup kuat untuk merealisasikan janji tersebut.

Kasus Helena Lim: Pembuka Hari yang Mencemaskan

Kisah Helena Lim, si "crazy rich Pantai Indah Kapuk," menjadi pembuka yang mencemaskan kala sarapan pagi ini. Majelis hakim memutuskan untuk mengembalikan aset senilai Rp10 miliar, yang terdiri dari tanah, bangunan, emas, dan barang mewah lainnya. Hakim beralasan bahwa aset tersebut tidak berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan, yaitu korupsi pengelolaan timah. Keputusan ini sah menurut hukum, berdasarkan Pasal 46 ayat (1) dan (2) KUHAP, yang mengatur bahwa barang yang disita harus dikembalikan kepada pemiliknya jika terbukti tidak terkait dengan tindak pidana.

Namun, di balik itu semua, masyarakat berhak mempertanyakan: apakah aset tersebut memang bersih dari kejahatan, ataukah kita yang belum mampu membuktikan keterkaitannya dengan tindak pidana tersebut? Keputusan ini seakan mengungkapkan betapa lemah sistem hukum kita dalam merampas aset hasil kejahatan. Dalam banyak kasus seperti ini, yang terungkap bukanlah keadilan, tetapi ketidakmampuan kita untuk menjangkau apa yang sebenarnya menjadi hak rakyat.

Perlunya UU Perampasan Aset

Undang-Undang Perampasan Aset akan memberikan kerangka hukum yang lebih jelas dan tegas dalam mengelola aset hasil kejahatan. Beberapa alasan utama urgensinya adalah:

  • Efektivitas Penegakan Hukum: Dengan UU ini, aset mencurigakan dapat disita lebih cepat tanpa harus menunggu putusan pidana yang sering memakan waktu bertahun-tahun. 
  • Harmonisasi dengan UNCAC: Bab V UNCAC mewajibkan negara untuk memprioritaskan asset recovery. Tanpa regulasi ini, kerja sama internasional akan sulit dilakukan. 
  • Efek Jera: Ketika aset hasil kejahatan dirampas, pelaku akan berpikir dua kali sebelum mengulangi perbuatannya. 

Pembuktian Terbalik: Solusi atau Kontroversi?

RUU Perampasan Aset juga memperkenalkan mekanisme pembuktian terbalik, di mana pelaku diwajibkan membuktikan bahwa asetnya diperoleh secara sah. Konsep ini sering menuai kritik, dianggap melanggar asas praduga tak bersalah. Namun, dalam konteks pemberantasan korupsi, pembuktian terbalik adalah langkah progresif.

Dalam Pasal 20 UNCAC, illicit enrichment (kekayaan tidak sah) dianggap sebagai tindak pidana. Jika seorang pejabat memiliki aset bernilai fantastis yang tidak sesuai dengan gajinya, tidakkah wajar jika ia diminta menjelaskan asal-usul kekayaannya?

Lambannya pengesahan UU Perampasan Aset tidak hanya memperlihatkan kelemahan sistem hukum, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang keberpihakan pemerintah. Ketika rakyat harus kehilangan akses terhadap pelayanan dasar akibat korupsi, setiap menit tanpa regulasi ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap mereka.

Kasus Helena Lim hanyalah puncak gunung es dari kegagalan kita dalam mengelola kekayaan negara. Tanpa regulasi tegas, sistem hukum kita akan terus menjadi alat perlindungan bagi mereka yang menikmati hasil kejahatan.

Jadi, apakah kita akan terus menjadi bangsa yang toleran terhadap korupsi, atau akhirnya bergerak menuju keadilan yang sejati?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun