Mohon tunggu...
Herlambang Saleh
Herlambang Saleh Mohon Tunggu... Guru - Guru

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ujian Nasional: Antara Mimpi dan Mimpi Buruk Pendidikan Indonesia

5 November 2024   20:44 Diperbarui: 5 November 2024   21:10 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UN (Ujian Nasional) resmi ditiadakan oleh pemerintah sejak tahun 2021. Sejak saat itu, tidak ada lagi patokan kelulusan peserta didik berdasarkan nilai UN di semua tingkat pendidikan mulai dari SD, SMP, hingga SMA.

Seiring berjalannya waktu, ketidakhadiran UN dinilai banyak pihak telah menurunkan kualitas dan motivasi belajar siswa. Hingga akhirnya, wacana pengembalian UN pun mencuat dan kembali banyak dibicarakan dalam beberapa hari terakhir.

Wacana pengembalian UN kembali mencuat setelah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti dilantik oleh Presiden Prabowo. Pro kontra pun bermunculan bak jamur di musim penghujan. 

Adapun salah satu yang setuju agar UN diadakan kembali adalah Kepala Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Trina Fizzanty, mendukung pengembalian Ujian nasional (UN). Dia mengatakan UN diperlukan untuk mengetahui capaian pembelajaran serta memacu siswa lebih giat belajar. "Ini langkah yang baik. Kesadaran belajar siswa di Indonesia relatif rendah, terbukti dari nilai PISA (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study).(sumber)

Disisi lain, Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia, menilai akan terjadi kemunduran apabila Ujian Nasional diberlakukan kembali. Sebab, menurut dia, Ujian Nasional memiliki risiko tinggi karena mempengaruhi kelulusan anak dan reputasi sekolah.

Akibatnya, kata Nisa, banyak terjadi kecurangan dalam penyelenggaraan UN. "Kita sudah melihat dampak buruknya ada nyontek-nyontekan, bahkan itu dilegalisasi demi memastikan 100 persen itu lulus.(sumber)

Ketika UN kembali dilaksanakan, bisa jadi kita akan melihat kembali siswa-siswa yang giat belajar dalam mempersiapkan UN. Anak yang tidak punya kemampuan serta minat belajar tinggi dipaksa seperti itu, akhirnya yang timbul adalah tekanan. Sedangkan bagi anak yang mempunyai kemampuan bagus dalam berpikir, maka mereka akan senang. Para siswa giat karena ada kekhawatiran serta kecemasan dalam menghadapi UN. Kekhawatiran serta kecemasan yang menjadikan para siswa tidak menikmati proses belajar yang dilakukan. Kekhawatiran, kecemasan pun melanda orang tua, ketika sang buah hati tidak dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi disebabkan tidak lulus UN.

Selain itu dengan wacana diadakan UN kembali, tentu akan menyuburkan kembali bisnis bimbingan belajar (bimbel). Mulai dari bimbel perorangan, lembaga hingga sekolah. Sementara dari sisi lain orang tua, mereka khawatir jika anaknya tidak dapat apa-apa. Pada akhirnya, anak dimasukkan ke bimbel. Dari sana, muncul pembiayaan tambahan yang harus dikeluarkan. Baik bimbel maupun tambahan belajar di sekolah tentunya akan menjadi beban tambahan pembayaran orang tua murid. Padahal tidak semua orang tua mampu dan sanggup untuk membayar.

Guru kian tambah "pusing" dengan  mencuatnya kembali gagasan UN. Pusing karena bagaimana caranya mengajari siswa trik dan tips (mengakali) soal UN. Bahkan waktunya akan habis dari tryout satu ke tryout lainnya, mulai dari tingkat kecamatan, kota, provinsi hingga nasional. 

Di kelas pun akan sibuk dengan drilling-drilling latihan soal UN. Bahkan sekolah pun menambah jam pelajaran khusus UN.  Kelas bukan lagi tempat membangun kreativitas dan nalar kritis siswa. Kini kelas bertransformasi menjadi ruang-ruang pembahasan soal UN yang menghempaskan pembelajaran diferensiasi, inkuiri, dan pembelajaran berpusat pada murid. 

Selanjutnya, rasa pusing guru naik level menjadi "migrain bahkan vertigo", ketika ada "tuntutan" dari pimpinan, sekolah, yayasan agar para siswa lulus 100%. Ketika ara siswa lulus 100%, dengan nilai tinggi tentunya akan menjadi prestasi serta reputasi sekolah. Sebaliknya, apabila ada siswa yang tidak lulus UN, tentunya akan menjadi "musibah" bagi sekolah tersebut.

Penghapusan Ujian Nasional (UN) sejak tahun 2021 telah menimbulkan berbagai dampak dan pandangan yang beragam. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa ketidakhadiran UN menurunkan kualitas dan motivasi belajar siswa, sehingga mendukung wacana pengembalian UN. Di sisi lain, ada yang khawatir bahwa pengembalian UN akan membawa kembali berbagai masalah seperti kecurangan dan beban tambahan bagi siswa, orang tua, dan guru. Oleh karena itu, jika UN diadakan kembali, perlu dipastikan bahwa UN tidak menjadi satu-satunya alat ukur penilaian, tidak menjadi momok bagi siswa. (hes50)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun