Beni, seorang murid yang dulunya penuh kekaguman pada gurunya, Pak Hardi, kini terperosok dalam musibah. Pandangannya yang dulu penuh kekaguman kini pudar, digantikan oleh rasa kecewa dan keraguan. Kehilangan rasa hormat dan etikanya sebagai murid mengantarkannya pada jurang kesombongan dan lupa diri.
Dahulu, Beni bagaikan lentera yang diterangi Pak Hardi, gurunya yang penuh hikmah. Setiap kata Pak Hardi bagaikan melodi indah yang menari di telinganya, membangkitkan semangatnya untuk belajar. Beni terpesona oleh dedikasi dan ketulusan Pak Hardi dalam mengajar.
Namun, seiring waktu, benih-benih keraguan mulai tumbuh di hati Beni. Kesalahan kecil Pak Hardi saat mengajar menjadi noda yang membekas di matanya. Kekagumannya tergantikan oleh rasa kecewa dan keraguan. Beni mulai berani mengkritik Pak Hardi di depan teman-temannya, bahkan diam-diam menertawakan kekurangan Pak Hardi.
Kesombongan pun mulai menggerogoti hati Beni. Semakin tinggi ilmu yang diraihnya, semakin lupa ia akan etikanya sebagai murid. Ia mulai berani mendebat Pak Hardi di kelas, meninggikan suaranya saat berbicara dengan Pak Hardi, dan bahkan meremehkan pendapat Pak Hardi. Beni lupa bahwa Pak Hardi adalah manusia yang tak luput dari kekurangan, dan bahwa ilmu yang ia dapatkan tak lepas dari jasa Pak Hardi.
Suatu hari, takdir mempertemukan Beni kembali dengan Pak Hardi. Kini, Beni telah berstatus sebagai guru, sama seperti Pak Hardi dulu. Saat berpapasan di koridor sekolah, Beni lupa cara bersalaman dengan Pak Hardi. Genggaman tangannya terasa dingin dan formal, tanpa rasa hormat dan kasih sayang yang dulu ia tunjukkan. Senyumnya pun terasa kaku dan dipaksakan.
Kesombongan dan kesibukan sebagai guru telah membutakan hati Beni. Ia tak lagi rutin menyapa Pak Hardi, tak lagi meminta nasihat, dan tak lagi menunjukkan rasa terima kasih atas jasanya. Beni lupa bahwa Pak Hardi adalah orang tua kedua yang telah mengantarkannya menuju kesuksesan. Ia lupa bahwa Pak Hardi adalah salah satu pilar yang menopang masa depannya.
Musibah Beni adalah contoh nyata bagaimana seorang murid dapat terjerumus dalam kesombongan dan lupa daratan. Musibah ini bukan terletak pada kekurangan Pak Hardi, melainkan pada hati Beni yang lupa bersyukur dan lupa menghormati. Murid yang lupa daratan akan kehilangan cahaya ilmu dan terperangkap dalam kegelapan kesombongan.
Kisah Beni menjadi pengingat bagi kita semua bahwa seorang guru adalah pahlawan yang patut dihormati dan dihargai. Kita harus selalu menjaga adab dan etika dalam berinteraksi dengan guru, regardless of their shortcomings. Mengingat jasa dan pengorbanan mereka adalah kunci untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan di masa depan.
Beni tersadar dari kesalahannya saat ia melihat Pak Hardi tertunduk lesu di ruang guru. Pak Hardi baru saja menerima berita duka atas wafatnya sang istri tercinta. Beni teringat masa lalunya saat Pak Hardi selalu ada untuknya, bahkan saat Pak Hardi sendiri sedang berduka.
Beni bergegas menghampiri Pak Hardi dan memeluknya erat. Air matanya mengalir deras, penyesalan dan rasa bersalah menyelimuti hatinya. Ia memohon maaf atas semua kesalahannya dan berjanji untuk menjadi murid yang lebih baik. Pak Hardi menyambut pelukan Beni dengan hangat dan memaafkannya dengan tulus.
Sejak saat itu, Beni menjadi murid yang lebih rendah hati dan penuh rasa hormat. Ia selalu mengingat jasa Pak Hardi dan berusaha untuk menjadi guru yang teladan bagi murid-muridnya. Musibah Beni menjadi pelajaran berharga baginya untuk selalu bersyukur dan menghargai orang-orang yang telah berjasa dalam hidupnya.
Kisah Beni adalah sebuah cerminan bagi kita semua. Kita harus selalu introspeksi diri dan menjaga diri dari kesombongan dan lupa diri. Mari kita jadikan kisah ini sebagai pengingat untuk selalu menghormati dan menghargai guru, orang tua, dan semua orang yang telah berjasa dalam hidup kita. (hes50)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H