Mohon tunggu...
Herlambang Yudha Prasetya
Herlambang Yudha Prasetya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan

Suka bahas permasalahan komunikasi dikalangan anak muda. Soalnya saya masih muda, jadi banyak masalah juga pastinya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Toxic Positivity dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental Anak Muda

29 November 2024   23:26 Diperbarui: 29 November 2024   23:26 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital yang serba instan saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Platform-platform ini menawarkan akses mudah untuk berbagi momen bahagia, prestasi, dan pencapaian. Namun, di balik layar, terdapat fenomena yang semakin mengkhawatirkan, yaitu toxic positivity. Istilah ini merujuk pada tekanan sosial yang mendorong individu untuk selalu menampilkan sisi positif dalam kehidupan mereka, bahkan ketika sedang mengalami kesulitan.

Toxic positivity seringkali disamarkan dengan optimisme yang sehat. Namun, keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Jika optimisme adalah sikap melihat sisi baik dari suatu situasi, toxic positivity adalah upaya untuk menekan emosi negatif dan memaksakan pandangan positif yang tidak realistis.

Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa toxic positivity dapat memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental individu, terutama generasi muda. Ketika individu merasa tertekan untuk selalu bahagia dan menyembunyikan perasaan negatif, mereka dapat mengalami berbagai masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, dan isolasi sosial.

Pernahkah kamu melihat unggahan di media sosial yang berbunyi, "Semua akan baik-baik saja" atau "Bersyukurlah atas apa yang kamu miliki"? Ungkapan-ungkapan seperti ini, meskipun dimaksudkan untuk memberikan semangat, justru dapat membuat individu yang sedang berjuang merasa tidak valid dan sendirian.

Seorang psikolog klinis mengatakan, "Toxic positivity menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi individu untuk mengungkapkan perasaan mereka yang sebenarnya. Ketika kita terus-menerus ditekan untuk merasa bahagia, kita kehilangan kemampuan untuk mengelola emosi negatif secara sehat."

Toxic positivity, jika dibiarkan terus-menerus, dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental generasi muda. Beberapa dampak yang paling umum di antaranya:

1. Penurunan Harga Diri

Ketika individu terus-menerus ditekan untuk menampilkan kesempurnaan, mereka cenderung membandingkan diri dengan orang lain dan merasa tidak cukup baik. Hal ini dapat memicu perasaan rendah diri dan tidak berharga.

2. Isolasi Sosial

Individu yang mengalami toxic positivity seringkali merasa kesulitan untuk berbagi perasaan negatif dengan orang lain. Mereka takut akan penilaian dan penolakan, sehingga memilih untuk mengisolasi diri.

3. Masalah Kesehatan Mental

Dampak jangka panjang dari toxic positivity dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan gangguan makan. Individu mungkin mengalami kesulitan untuk mengatur emosi, sulit tidur, dan kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya mereka nikmati.

4. Hambatan dalam Pertumbuhan Pribadi

Toxic positivity dapat menghambat kemampuan individu untuk belajar dari kesalahan dan menghadapi tantangan. Ketika individu selalu berusaha untuk tampak kuat dan positif, mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan resiliensi dan keterampilan coping yang sehat.

Mengapa toxic positivity begitu berbahaya? Salah satu alasannya adalah karena mekanisme psikologis yang disebut suppression. Ketika kita berusaha menekan emosi negatif, kita sebenarnya tidak menghilangkannya, melainkan hanya menundanya. Emosi yang terpendam ini dapat meledak dan menyebabkan masalah yang lebih besar di kemudian hari.

Selain itu, toxic positivity juga dapat menciptakan apa yang disebut cognitive dissonance. Ketika pikiran dan perasaan kita tidak sejalan (misalnya, kita merasa sedih tetapi dipaksa untuk merasa bahagia), kita mengalami ketidaknyamanan kognitif. Untuk mengurangi ketidaknyamanan ini, kita mungkin akan melakukan berbagai upaya untuk membenarkan perasaan kita atau mengubah persepsi kita terhadap situasi.

Menerima emosi negatif bukanlah berarti kita menyerah atau pesimis. Sebaliknya, ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan dan pertumbuhan. Ketika kita mengakui dan menerima perasaan kita, kita dapat mulai memprosesnya secara sehat. Beberapa cara untuk memproses emosi negatif antara lain bisa mulai menulis jurnal tentang perasaan kita, ini dapat membantu kita untuk memahami diri sendiri dengan lebih baik. Berbagi perasaan dengan teman, keluarga, atau terapis dapat memberikan dukungan emosional yang kita butuhkan. Mengalihkan perhatian ke aktivitas yang kita nikmati dapat membantu kita untuk merasa lebih baik. Teknik seperti meditasi dan pernapasan dalam dapat membantu kita untuk mengurangi stres dan kecemasan.

Toxic positivity adalah masalah serius yang dapat berdampak buruk pada kesehatan mental generasi muda. Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu menciptakan lingkungan yang lebih suportif dan mendorong individu untuk menerima semua emosi mereka, baik positif maupun negatif. Dengan demikian, kita dapat membantu generasi muda tumbuh menjadi individu yang lebih sehat dan bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun