Mohon tunggu...
Herjuno Ndaru Kinasih
Herjuno Ndaru Kinasih Mohon Tunggu... karyawan swasta -

trade and environment, social policy, and literature

Selanjutnya

Tutup

Money

RCEP di ASEAN dan Transformasi Perdagangan

26 September 2013   14:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:22 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir bulan lalu, menteri-menteri yang menangani persoalan perekonomian di masing-masing negara anggota Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) melakukan pertemuan 45th ASEAN Economic Ministers & External Partners di Brunei Darussalam.

Pertemuan tahunan ini diikuti beberapa negara mitra ASEAN, di antaranya Australia, China, India, Jepang, Korea, dan Selandia Baru. Di antara banyaknya agenda yang harus diselesaikan, salah satu agenda yang mengemuka dalam pertemuan tersebut adalah negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP) di antara negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, dengan enam mitra dagangnya yang tersebut di atas. Negosiasi tersebut telah dimulai awal tahun ini dan diharapkan selesai pada 2015 nanti.

RCEP adalah upaya negara-negara ASEAN untuk mengharmonisasikan berbagai aturan perdagangan yang berbeda-beda di antara keenam mitra dagangnya. ASEAN telah menandatangani lima kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreements–FTA) sampai saat ini; yakni ASEAN-China FTA, ASEAN-Jepang Economic Partnership Agreement, ASEAN Korea FTA, ASEAN-Australia New Zealand FTA, dan ASEAN India FTA.

Meskipun FTA dilakukan untuk memberikan perlakuan dan kemudahan bagi negara mitra dalam ekspor dan impor, permasalahan yang muncul dalam lima FTA di ASEAN adalah aturan perdagangan yang berbeda dari setiap FTA. Perbedaan aturan tersebut akhirnya membuat pelaku usaha kesulitan untuk mempergunakan kemudahan-kemudahan, misalnya keringanan bea masuk, yang telah disepakati dalam sebuah FTA.

Oleh karena itu, RCEP dirundingkan dengan maksud untuk menyederhanakan aturan-aturan yang berbeda tersebut. Ini penting dilakukan, karena rumitnya aturan tersebut membuat pelaku usaha kesulitan mempergunakan FTA ketika hendak melakukan ekspor dan impor. Survei Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2009 menyebutkan bahwa rata-rata pemanfaatan FTA negara-negara ASEAN hanya sebesar 22% dari total seluruh ekspor yang dilakukan ke negara mitra (ADB, 2009).

Keberadaan RCEP sendiri di tingkat global menjadi rival bagi negosiasi serupa yang diinisiasi oleh Amerika Serikat, yakni Trans Pacific Partnership (TPP). TPP adalah kesepakatan perdagangan bebas yang diikuti oleh tujuh belas negara di Asia-Pasifik yang juga diikuti oleh beberapa negara anggota ASEAN, yakni Malaysia, Singapura, Brunei, dan Vietnam.

Sejauh ini Indonesia belum bergabung dalam TPP, meskipun AS banyak melakukan lobi ke Indonesia untuk mengajak bergabung dengan TPP, misalnya dalam pertemuan antara Presiden SBY dengan Evan Greenberg, Kepala Dewan Bisnis AS-ASEAN yang dilakukan Juli 2012 lalu. Sebaliknya, RCEP dianggap sebagai langkah tandingan China terhadap Amerika Serikat untuk membuat kesepakatan perdagangan bebas dengan ASEAN.

Tak hanya China, Yukio Edano, Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, dalam pembukaan negosiasi RCEP di Kamboja akhir 2012 lalu, juga menyatakan bahwa negosiasi RCEP penting bagi Jepang dengan berbagai agenda yang harus diselesaikan di antara ASEAN dan mitra dagangnya.

Adanya tarik-menarik kekuatan global dalam membuat kesepakatan perdagangan bebas di ASEAN memperlihatkan bahwa kawasan Asia Tenggara semakin dinamis dan menarik bagi mitra dagang untuk meningkatkan aktivitas perdagangannya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga membuat kawasan Asia Tenggara semakin menarik bagi investor.

Memperbaiki kinerja
Bagi Indonesia, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan perdagangan bebas perlu diimbangi dengan reformasi di tingkat domestik serta peningkatan kapasitas industri yang mumpuni. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi produk dari berbagai negara.

Beberapa reformasi yang perlu segera dilakukan Indonesia seharusnya mencakup pengolahan produk mentah Indonesia (hilirisasi), peningkatan standar kualitas produk, peningkatan akses keuangan kepada usaha kecil dan menengah yang berorientasi ekspor, serta penerapan teknologi tepat guna dan sederhana. Masalah hilirisasi saat ini merupakan prioritas pemerintah yang telah dilakukan melalui berbagai program, salah satunya melalui Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun