Pendidikan, adalah kunci utama dalam memanfaatkan konektivitas di ASEAN dan keterbukaan global. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi macan ompong di ASEAN.
Isu konektivitas di tingkat ASEAN kini kian menjadi perhatian banyak pihak. Misalnya, hal ini terlihat dalam Dialog Tingkat Tinggi antara ASEAN dan Uni Eropa (UE) yang diselenggarakan oleh Kementrian Luar Negeri dan juga diskusi publik Talking ASEAN yang membahas mengenai konektivitas di The Habibie Center. Di dalam dua pertemuan tersebut, diskusi mengenai Konektivitas ASEAN mengemuka.
Dalam Dialog Tingkat Tinggi ASEAN-UE yang berlangsung tanggal 18 dan 19 November disepakati bahwa isu kerjasama maritim diperlukan guna meningkatkan konektivitas di antara negara-negara ASEAN. Harapannya, dengan adanya kerjasama kelautan yang makin meningkat, konektivitas akan lebih memadai dan pada akhirnya aktivitas ekonomi akan semakin dinamis.
Sementara itu, dalam diskusi Talking ASEAN yang diadakan di awal bulan November, Kepala Divisi Konektivitas ASEAN, Lim Chze Cheen, mengatakan bahwa ASEAN telah memulai inisiatif pengembangan konektivitas ASEAN dengan membangun pembangkit listik di sepanjang Kalimantan Barat – Serawak dan Melaka – Pekanbaru. Kesepakatan pembangunan pembangkit listrik ini Melaka-Pekanbaru telah ditandatangani sejak September 2012 lalu dan diharapkan selesai pada tahun 2019. Sementara itu, pembangunan infrastruktur berupa jalan, jalur kereta, serta pelabuhan di antara negara ASEAN juga tengah dikaji dan direncanakan.
Rencana konektivitas ASEAN tersebut juga ditekankan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada bulan Oktober lalu dalam forum ASEAN Summit ke-23 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam. SBY menggarisbawahi pentingnya aksi nyata dari komitmen konektivitas ASEAN yang telah dibahas dalam pertemuan-pertemuan terdahulu.
Artinya, pada tahun-tahun mendatang, seiring dengan integrasi Komunitas Ekonomi ASEAN yang akan dilaksanakan pada tahun 2015, Indonesia akan semakin terhubung dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara dan akan semakin banyak peluang ekonomi yang muncul.
Di dalam negeri, isu konektivitas juga masih menjadi isu yang sangat relevan terkait dengan upaya industrialisasi dan pemerataan ekonomi. Pemerintah lewat program Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) mencoba menjembatani isu konektivitas ini.
Sebaliknya, banyak pihak pula yang menyangsikan kesiapan Indonesia untuk masuk ke dalam Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 karena masih banyaknya pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan, khususnya dalam bidang perdagangan, industri dan kesejahteraan sosial.
Di atas perdebatan mengenai kesiapan Indonesia, salah satu hal yang pasti yang harus dilakukan untuk menyikap integrasi dan pertukaran ekonomi yang semakin cepat di ASEAN adalah memperkuat pendidikan. Hal ini juga disampaikan oleh pembicara dalam forum Talking ASEAN di Jakarta, bahwa selain konektivitas fisik, investasi sumber daya manusia (SDM) juga perlu agar konektivitas ini dapat bermakna bagi kesejahateraan secara luas.
Pendidikan adalah kunci bagi Indonesia untuk meningkatkan kapasitas SDM untuk dapat bersaing di era pasar bebas, dan juga untuk memanfaatkan konektivitas ASEAN.
Dalam pendidikan dasar, Indonesia masih banyak tertinggal dibandingkan beberapa negara ASEAN. Tahun rata-rata pendidikan dihabiskan oleh murid di Indonesia untuk bersekolah dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2012 yang disusun oleh United Nations Development Program (UNDP) adalah sebesar 5,8 tahun. Angka ini masih lebih kecil dibandingkan dengan tahun rata-rata pendidikan beberapa negara lain, misalnya Thailand sebesar 6,6 tahun, Brunei Darussalam sebesar 8,6 tahun, Filipina sebesar 8,9 tahun, Malaysia sebesar 9,5 tahun, dan Singapura sebesar 10,1 tahun.