Lebih jauh dari pendidikan dasar, dalam membicarakan kompetitivitas, pendidikan tinggi dan vokasi juga sangat penting perannya dalam upaya penciptaaan tenaga kerja yang terampil. Tanpa mengesampingkan arti penting pendidikan tinggi berbasis akademik, dalam pendidikan vokasi Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju.
Menurut Technical and Further Education (TAFE) Australia, rasio antara siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di Indonesia tahun 2012 adalah 30 : 70. Angka ini, menurut TAFE, kurang berimbang. Di beberapa negara lain, misalnya di Korea Selatan, rasio antara siswa sekolah kejuruan dengan sekolah menengah umum lebih tingggi, yakni sebesar 40:60 di tahun 1997. Di tahun 2007, untuk meningkatkan jumlah siswa SMK dan menarik siswa untuk mendaftar ke SMK, pemerintah Korea Selatan mengganti nama sekolah vokasi menjadi sekolah tinggi profesional. Di Belanda, angka pendaftaran siswa ke sekolah kejuruan bahkan mencapai 50 persen dengan empat penjurusan utama, yakni teknik, ekonomi, pertanian, dan kesehatan (UNESCO, 2013).
Selain itu, ketika berbicara mengenai pendidikan tinggi yang mempunyai keluaran (output) pada riset dan inovasi, kontribusi dunia pendidikan pada kinerja ekonomi riil kita masih cukup rendah, misalnya dalam sektor pertanian.
Riset dari Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR) tahun 2005 menyebutkan bahwa komponen biaya riset untuk produk pertanian di Indonesia hanya 0,22 dollar Amerika Serikat (AS) untuk setiap 100 dollar AS produk pertanian di tahun 2003. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan komponen biaya riset untuk produktivitas pertanian Indonesia yang mencapai 0,30 dollar AS untuk setiap hasil produk pertanian 100 dollar AS. Artinya, terjadi penurunan alokasi dana untuk riset dalam sektor pertanian Indonesia.
Secara umum, di tahun 2000, angka ini cukup rendah dibandingkan rata-rata komponen biaya riset untuk produk pertanian negara-negara Asia sebesar 0,41 dollar AS dan rata-rata negara berkembang secara umum sebesar 0,53 dollar AS per 100 dollar AS output pertanian.
Permasalahan mengenai rendahnya link and match antara hasil riset yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan dengan industri juga ditegaskan oleh ilmuwan-ilmuwan penerima Habibie Award 2013 dalam pidatonya pada hari Rabu, 19 November lalu di Jakarta. Prof. Dr. Mohammad Nasikin, profesor dari Departemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia, yang menjadi penerima Habibie Awards 2013 bidang Ilmu Rekayasa mengemukakan bahwa tingkat keterpakaian hasil riset di universitas untuk keperluan industri masih sangat rendah.
Tak hanya itu, Prof. Dr. Irwandi Jaswir, pelopor halal science yang juga penerima Habibie Awards 2013 mengatakan bahwa perhatian pemerintah untuk riset masih kurang.
Pekerjaan rumah lain yang masih menanti dalam mempersiapkan SDM memadai untuk memanfaatkan integrasi ASEAN adalah kesenjangan kualitas antara pusat dan daerah. Di Indonesia, masih diperlukan upaya untuk merintis community college yang menyerap keunggulan akademik di pusat untuk disebarkan di daerah.
Langkah ini sudah dimulai Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan membuka empat Akademi Komunitas di Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Enrekang di Sulawesi Selatan, Kabupaten Lembata di Nusa Tenggara Timur, dan Kepulauan Yapen di Papua mulai tahun ini. Upaya rintisan ini sebaiknya segera diikuti oleh universitas-universitas lain demi menciptakan pemerataan kualitas SDM.
Tanpa upaya penciptaan SDM yang terampil dan berkualitas, Indonesia kurang mampu memanfaatkan rencana kebijakan Konektivitas ASEAN untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H