Mohon tunggu...
Herjuno Ndaru Kinasih
Herjuno Ndaru Kinasih Mohon Tunggu... karyawan swasta -

trade and environment, social policy, and literature

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan; Kunci Indonesia dalam Menghadapi Konektivitas Ekonomi ASEAN 2015

29 Desember 2013   12:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:23 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan, adalah kunci utama dalam memanfaatkan konektivitas di ASEAN dan keterbukaan global. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi macan ompong di ASEAN.

Isu konektivitas di tingkat ASEAN kini kian menjadi perhatian banyak pihak. Misalnya, hal ini terlihat dalam Dialog Tingkat Tinggi antara ASEAN dan Uni Eropa (UE) yang diselenggarakan oleh Kementrian Luar Negeri dan juga diskusi publik Talking ASEAN yang membahas mengenai konektivitas di The Habibie Center. Di dalam dua pertemuan tersebut, diskusi mengenai Konektivitas ASEAN mengemuka.

Dalam Dialog Tingkat Tinggi ASEAN-UE yang berlangsung tanggal 18 dan 19 November disepakati bahwa isu kerjasama maritim diperlukan guna meningkatkan konektivitas di antara negara-negara ASEAN. Harapannya, dengan adanya kerjasama kelautan yang makin meningkat, konektivitas akan lebih memadai dan pada akhirnya aktivitas ekonomi akan semakin dinamis.

Sementara itu, dalam diskusi Talking ASEAN yang diadakan di awal bulan November, Kepala Divisi Konektivitas ASEAN, Lim Chze Cheen, mengatakan bahwa ASEAN telah memulai inisiatif pengembangan konektivitas ASEAN dengan membangun pembangkit listik di sepanjang Kalimantan Barat – Serawak dan Melaka – Pekanbaru. Kesepakatan pembangunan pembangkit listrik ini Melaka-Pekanbaru telah ditandatangani sejak September 2012 lalu dan diharapkan selesai pada tahun 2019. Sementara itu, pembangunan infrastruktur berupa jalan, jalur kereta, serta pelabuhan di antara negara ASEAN juga tengah dikaji dan direncanakan.

Rencana konektivitas ASEAN tersebut juga ditekankan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada bulan Oktober lalu dalam forum ASEAN Summit ke-23 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam. SBY menggarisbawahi pentingnya aksi nyata dari komitmen konektivitas ASEAN yang telah dibahas dalam pertemuan-pertemuan terdahulu.

Artinya, pada tahun-tahun mendatang, seiring dengan integrasi Komunitas Ekonomi ASEAN yang akan dilaksanakan pada tahun 2015, Indonesia akan semakin terhubung dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara dan akan semakin banyak peluang ekonomi yang muncul.

Di dalam negeri, isu konektivitas juga masih menjadi isu yang sangat relevan terkait dengan upaya industrialisasi dan pemerataan ekonomi. Pemerintah lewat program Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) mencoba menjembatani isu konektivitas ini.

Sebaliknya, banyak pihak pula yang menyangsikan kesiapan Indonesia untuk masuk ke dalam Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 karena masih banyaknya pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan, khususnya dalam bidang perdagangan, industri dan kesejahteraan sosial.

Di atas perdebatan mengenai kesiapan Indonesia, salah satu hal yang pasti yang harus dilakukan untuk menyikap integrasi dan pertukaran ekonomi yang semakin cepat di ASEAN adalah memperkuat pendidikan. Hal ini juga disampaikan oleh pembicara dalam forum Talking ASEAN di Jakarta, bahwa selain konektivitas fisik, investasi sumber daya manusia (SDM) juga perlu agar konektivitas ini dapat bermakna bagi kesejahateraan secara luas.

Pendidikan adalah kunci bagi Indonesia untuk meningkatkan kapasitas SDM untuk dapat bersaing di era pasar bebas, dan juga untuk memanfaatkan konektivitas ASEAN.

Dalam pendidikan dasar, Indonesia masih banyak tertinggal dibandingkan beberapa negara ASEAN. Tahun rata-rata pendidikan dihabiskan oleh murid di Indonesia untuk bersekolah dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2012 yang disusun oleh United Nations Development Program (UNDP) adalah sebesar 5,8 tahun. Angka ini masih lebih kecil dibandingkan dengan tahun rata-rata pendidikan beberapa negara lain, misalnya Thailand sebesar 6,6 tahun, Brunei Darussalam sebesar 8,6 tahun, Filipina sebesar 8,9 tahun, Malaysia sebesar 9,5 tahun, dan Singapura sebesar 10,1 tahun.

Lebih jauh dari pendidikan dasar, dalam membicarakan kompetitivitas, pendidikan tinggi dan vokasi juga sangat penting perannya dalam upaya penciptaaan tenaga kerja yang terampil. Tanpa mengesampingkan arti penting pendidikan tinggi berbasis akademik, dalam pendidikan vokasi Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju.

Menurut Technical and Further Education (TAFE) Australia, rasio antara siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di Indonesia tahun 2012 adalah 30 : 70. Angka ini, menurut TAFE, kurang berimbang. Di beberapa negara lain, misalnya di Korea Selatan, rasio antara siswa sekolah kejuruan dengan sekolah menengah umum lebih tingggi, yakni sebesar 40:60 di tahun 1997. Di tahun 2007, untuk meningkatkan jumlah siswa SMK dan menarik siswa untuk mendaftar ke SMK, pemerintah Korea Selatan mengganti nama sekolah vokasi menjadi sekolah tinggi profesional. Di Belanda, angka pendaftaran siswa ke sekolah kejuruan bahkan mencapai 50 persen dengan empat penjurusan utama, yakni teknik, ekonomi, pertanian, dan kesehatan (UNESCO, 2013).

Selain itu, ketika berbicara mengenai pendidikan tinggi yang mempunyai keluaran (output) pada riset dan inovasi, kontribusi dunia pendidikan pada kinerja ekonomi riil kita masih cukup rendah, misalnya dalam sektor pertanian.

Riset dari Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR) tahun 2005 menyebutkan bahwa komponen biaya riset untuk produk pertanian di Indonesia hanya 0,22 dollar Amerika Serikat (AS) untuk setiap 100 dollar AS produk pertanian di tahun 2003. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan komponen biaya riset untuk produktivitas pertanian Indonesia yang mencapai 0,30 dollar AS untuk setiap hasil produk pertanian 100 dollar AS. Artinya, terjadi penurunan alokasi dana untuk riset dalam sektor pertanian Indonesia.

Secara umum, di tahun 2000, angka ini cukup rendah dibandingkan rata-rata komponen biaya riset untuk produk pertanian negara-negara Asia sebesar 0,41 dollar AS dan rata-rata negara berkembang secara umum sebesar 0,53 dollar AS per 100 dollar AS output pertanian.

Permasalahan mengenai rendahnya link and match antara hasil riset yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan dengan industri juga ditegaskan oleh ilmuwan-ilmuwan penerima Habibie Award 2013 dalam pidatonya pada hari Rabu, 19 November lalu di Jakarta. Prof. Dr. Mohammad Nasikin, profesor dari Departemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia, yang menjadi penerima Habibie Awards 2013 bidang Ilmu Rekayasa mengemukakan bahwa tingkat keterpakaian hasil riset di universitas untuk keperluan industri masih sangat rendah.

Tak hanya itu, Prof. Dr. Irwandi Jaswir, pelopor halal science yang juga penerima Habibie Awards 2013 mengatakan bahwa perhatian pemerintah untuk riset masih kurang.

Pekerjaan rumah lain yang masih menanti dalam mempersiapkan SDM memadai untuk memanfaatkan integrasi ASEAN adalah kesenjangan kualitas antara pusat dan daerah. Di Indonesia, masih diperlukan upaya untuk merintis community college yang menyerap keunggulan akademik di pusat untuk disebarkan di daerah.

Langkah ini sudah dimulai Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan membuka empat Akademi Komunitas di Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Enrekang di Sulawesi Selatan, Kabupaten Lembata di Nusa Tenggara Timur, dan Kepulauan Yapen di Papua mulai tahun ini. Upaya rintisan ini sebaiknya segera diikuti oleh universitas-universitas lain demi menciptakan pemerataan kualitas SDM.

Tanpa upaya penciptaan SDM yang terampil dan berkualitas, Indonesia kurang mampu memanfaatkan rencana kebijakan Konektivitas ASEAN untuk kesejahteraan masyarakat luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun