Terkait dengan akses pembiayaan usaha mikro, barubaru ini Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 mengenai Koperasi setelah gugatan diajukan oleh berbagai kelompok koperasi dan gabungan masyarakat sipil yang bergerak dalam pemberdayaan koperasi. Sebelumnya, pemerintah berharap dengan pemberlakuan UU tersebut, koperasi dapat memperoleh akses keuangan yang lebih mudah ke perbankan.
Sayangnya, UU tersebut tidak didasarkan pada semangat dasar koperasi yang berbasis keanggotaan yang demokratis, namun lebih berbasis pada kepentingan pengurus yang rawan moral hazard. Gugatan para pegiat koperasi yang dimenangkan oleh MK ini juga menjadi catatan penting bagi pemerintah mendatang untuk dapat mengatasi akses keuangan usaha pertanian sekaligus membangun gerakan koperasi sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi.
Bukan Sekadar Retorika
Maraknya jasa keuangan informal, bahkan termasuk rentenir, yang membiayai usaha mikro, di satu sisi merefleksikan resistensi lokal dalam merespons kebutuhan akses keuangan, namun di sisi lain mencirikan jurang yang cukup tinggi antara sektor formal dan informal. Tesis dualisme ekonomi di Indonesia yang dikemukakan oleh Boeke (1953) masih relevan hingga saat ini, terutama jika melihat persoalan akses keuangan.
Sektor formal dan perusahaan besar mendapatkan kepercayaan yang sangat baik dari perbankan. UMKM yang mendapat kredit dari perbankan pun lebih banyak dari usaha menengah dan kecil, meskipun 99,9% atau sebesar 56,5 juta dari total unit usaha di Indonesia dikategorikan sebagai usaha mikro. Dari jenis usaha mikro yang dibiayai perbankan, usaha mikro berjenis pertanian yang paling minim. Kesenjangan sektoral merupakan persoalan mendasar dari akses keuangan petani.
Kebutuhan keuangan petani tradisional yang utama, yang kurang dipahami bank, bukan untuk melakukan ekspansi seperti sektor lainnya, namun untuk menstabilkan harga komoditas. Oleh karena itu, penyediaan lingkungan pemberdaya (enabling environment) yang bermanfaat untuk stabilisasi harga menjadi sangat penting. Inovasi kebijakan yang lebih penting dilakukan, dibanding mendirikan bank pertanian yang bersifat repetitif, adalah, pertama, menyediakan asuransi pertanian untuk petani dan, kedua, mentransformasi koperasi simpan pinjam menjadi koperasi produksi.
Koperasi produksi, selain menaikkan posisi tawar petani terhadap rantai produksi global, juga berperan dalam meningkatkan efisiensi usaha tani serta mempercepat penyerapan teknologi dalam proses produksi. Ketika koperasi produksi mampu menyerap hasil tani anggota, membukukan keuntungan yang baik, dan mengelola secara demokratis, bank akan tertarik untuk membiayai usaha mereka.
Sementara itu, asuransi pertanian penting untuk membuat bank lebih tertarik membiayai usaha tani, menstabilkan harga pertanian, serta mengatasi kemiskinan petani. Di Indonesia, kenaikan harga pangan di tingkat pengecer mencapai 21,6% per tahun sejak 2010. Kenaikan ini cukup tinggi, jika dibandingkan negara ASEAN lain, misalnya Thailand sebesar 10,1%, Myanmar sebesar 4,4%, atau Filipina yang relatif tidak meningkat. (FAO, 2011).
Ketika harga pertanian naik, kecenderungan untuk kebocoran impor akan lebih tinggi, dan petani semakin tidak berdaya untuk mengembangkan usaha tani mereka. Di banyak negara, pemerintah mengembangkan asuransi pertanian berbasis indeks kerawanan iklim terutama untuk menstabilisasi harga.
Di Jepang, pemerintah menyubsidi dana asuransi dan menyalurkannya lewat beberapa institusi dana pertanian secara kolektif per kelompok tani. Sementara itu, di Meksiko dan India, pemerintah menggandeng produsen jasa keuangan untuk membuat asuransi kolektif pertanian berbasis kerawanan iklim per wilayah.
Akhirnya, tawaran caprescawapres mengenai pembentukan bank pertanian ini seharusnya bukan sekadar ide retorik yang ahistoris. Secara substantif, jasa keuangan yang lebih diperlukan oleh petani adalah asuransi pertanian dalam mendorong kemampuan usaha tani, yang pada gilirannya akan menaikkan profil usaha mereka untuk perbankan, dan secara jangka panjang berkontribusi pada ketahanan pangan. Koperasi juga perlu didorong untuk lebih berperan sebagai agen pembangunan.
*dimuat di Koran Sinfo, 11 Juni 2014