Masih tidak bisa hilang dari ingatanku saat tiba-tiba ibu memanggilku dari dalam kamarnya.
"Arif... sini!" panggilnya dengan nada keras.
Sambil menyetrika baju sekolahku ia bertanya, "Ibukota Jawa Barat apa?”.
Dengan lugas kujawab “Ibu kota Jawa Barat adalah Bandung”.
Tapi pertanyaan itu tidak berhenti sampai di situ. Aku masih harus menjawab beberapa nama ibu kota Propinsi di Indonesia (red - saat itu masih 27 Propinsi). Beberapa nama berhasil kuingat tapi akhirnya aku menyerah dengan sebuah pertanyaan nama Ibu Kota asal Kalimantan Timur. Sambil berdiri di hadapan ibu, aku terdiam. Aku benar-benar lupa saat itu.
“Baiklah, kalau begitu sekarang kamu hapalkan semua nama ibu kota di Indonesia. Sekarang!!" nanti ibu panggil dan kamu harus bisa jawab pertanyaan ibu” ucapnya sambil menyerahkan buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelas 3 kepadaku.
Hari itu aku berhasil menghapal 27 Propinsi di Indonesia lengkap dengan nama ibu kotanya. Lega rasanya karena kupikir deritaku sudah berakhir. Tanpa kusangka tiba-tiba tanganku di tarik menuju ruang tengah.
"Sekarang, kamu buat perkalian mulai dari 1 sampai 100 dan tidak boleh pakai alat bantu!" dengan tegas ibu memintaku untuk menuliskan perkalian di buku tulis kecil yang telah disiapkannya.
"Jawaban di tunggu satu jam dari sekarang lalu tulis buku ini!" Katanya sambil menyodorkan buku tulis itu ke hadapanku.
Hari itu mungkin jadi hari ternaas buatku. Bagaimana tidak, setelah menghapal aku dipaksa membuat perhitungan perkalian tanpa sedikit pun alat bantu kecuali jari jemariku yang kecil. Ingin menangis saja rasanya, tapi mau apa lagi. Aku jalani saja hari itu dengan isak tangis sambil mendengarkan dirinya mengajar perkalian. Seperti di kamp militer saja rasanya diajar dengan didikan yang cukup keras.
Kini setelah lebih dari dua puluh tahun aku masih tidak bisa membayangkan apa jadinya diriku jika tidak ada kejadian itu.Lumayan lah, urusan perkalian dan sekedar menghapal aku terbilang jago. Ibuku sama kerasnya denganku. Temperamental dan juga punya prinsip yang kuat dalam menjalani hidup. Sejak kecil kami tidak pernah akur. Persis seperti tokoh kartun Tom n Jerry. Kadang ribut kadang hidup damai. Tapi mungkin itu karena sifat-sifat kami yang sama, jadi kami nyaris tidak pernah ada titik temunya. Namun, meski begitu aku sayang dengannya.
Melihat perjuangannya membesarkanku membuat diriku kagum dan bangga. Apalagi setelah aku memiliki anak aku tahu bahwa ia wanita yang kuat, sabar, dan tangguh. Lewat rutinitas istriku akhirnya aku tahu bagaimana sibuknya dia untuk mengurusku. Bisa kubayangkanbetapa repotnya dia saat aku baru lahir sementara setumpuk pekerjaan rumah sudah menanti. Mengurus anak dan pekerjaan lain untuk menambah uang dapur ia lakoni dan harus selesai dalam sehari tanpa bantuan ayahku. Ia tak pernah mengeluh kala aku rewel dan terkadang nakal dalam keseharianku sebagai anak-anak. 22 Desember nanti mungkin hari yang tepat buat mengenang semua kebaikannya. Selamat hari ibu Mom. Terima kasih untuk cinta kasih dan pengorbananmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H