Mohon tunggu...
Heriyanto Sirait
Heriyanto Sirait Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Sebagai seorang organisator yang peduli dengan budaya dan digitalisasi di Toba, Indonesia, Heriyanto Sirait memimpin upaya untuk memadukan nilai-nilai tradisional dengan kemajuan teknologi. Melalui tulisannya di Kompasiana, Heriyanto berbagi wawasan tentang keberagaman budaya Toba dan upaya untuk mempromosikannya, sambil membahas pentingnya digitalisasi dalam mengembangkan komunitas lokal. Dengan pengalaman dan dedikasinya, ia menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai perpaduan antara budaya dan inovasi digital di Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asal Muasal Pernikahan Sesama Marga Nairasaon

12 Juli 2024   21:54 Diperbarui: 12 Juli 2024   22:30 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sepasang Kekasih menggunakan AI

Di tengah keindahan alam Tanah Batak, terdapat kisah menarik tentang migrasi dan tradisi yang mempengaruhi pernikahan di kalangan keturunan Nairasaon. Cerita ini bermula dari pemukiman di Sibisa yang kemudian menyebar ke Uluan dan Lumban Julu, daerah yang telah lama dihuni oleh keturunan Raja Lontung dan Raja Borbor.

Saat keturunan Nairasaon mulai menyebar dari Sibisa, mereka menemukan bahwa Uluan dan Lumban Julu telah dihuni oleh keturunan Raja Lontung dan Raja Borbor. Kedatangan keturunan Nairasaon menyebabkan penduduk asli bermigrasi ke daerah lain, seperti Parsambilan, Silaen, dan Laguboti. Perpindahan ini memunculkan masalah sosial yang serius bagi orang tua keturunan Nairasaon yang tersisa di Uluan. Mereka menghadapi kekhawatiran besar: tidak ada lagi perempuan yang bisa dilamar untuk anak laki-laki mereka dan tidak ada lagi laki-laki yang datang melamar putri mereka.

Menghadapi masalah ini, para orang tua sepakat untuk bermusyawarah dan bertanya kepada Debata Mulajadi Nabolon, sang pencipta dalam kepercayaan Batak. Tokoh-tokoh adat dari berbagai marga berkumpul untuk mencari solusi. Namun, dari marga Sirait keturunan Ompu Raja dan marga Butarbutar keturunan Raja Mardimpos, tidak ada perwakilan yang hadir.

Pertemuan tersebut dipimpin oleh seorang raja dari Sibisa, dan hasil musyawarah mereka adalah mengadakan Horja Parsaktian, sebuah pesta doa. Tujuannya adalah memohon petunjuk dari Debata Mulajadi Nabolon mengenai apakah diperbolehkan atau tidak sesama keturunan Nairasaon untuk saling menikah.

Ritual Horja Parsaktian dilakukan di kampung Lumbanjulu. Di tengah halaman rumah, mereka mendirikan sebuah borotan (tonggak dari kayu tertentu), dan di atas borotan itu diikatlah sijagaron, terdiri dari potongan: sanggar, beringin, silinjuang, ompuompu, dan sihilap. Dengan diiringi tabuhan ogung sabangunan, mereka manortor (menari) dan berdoa, meminta petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa (Debata Mulajadi Nabolon).

Pemimpin Horja Parsaktian dari marga Sitorus memohon agar jika Debata Mulajadi Nabolon memperkenankan pernikahan antar sesama keturunan Nairasaon, maka seluruh jenis tanaman sijagaron yang diikat di borotan itu hendaknya tumbuh dan segar. Sebaliknya, jika tidak diperkenankan, maka seluruh tumbuhan itu harus layu.

Secara logika, tidak mungkin tumbuhan yang diikat pada sebatang pohon akan tumbuh. Namun, setelah tujuh hari tujuh malam, para orang tua dan penduduk kampung melihat bahwa kelima jenis tumbuhan sijagaron itu tumbuh dan segar. Bagi mereka, ini adalah pertanda bahwa Debata Mulajadi Nabolon merestui dan tidak melarang terjadinya pernikahan antar sesama keturunan Nairasaon.

Sejak saat itu, pernikahan antar sesama keturunan Nairasaon mulai terjadi. Namun, karena tidak ikut serta dalam Horja Parsaktian tersebut, keturunan Sirait dari Ompu Raja dan Butarbutar dari keturunan Raja Mardimpos tidak mengakui keputusan itu. Hingga kini, mereka sering mencela pernikahan antar sesama keturunan Nairasaon.

Di Sibisa, tempat tinggal keturunan Ompu Raja dan Raja Mardimpos, penolakan terhadap pernikahan sesama keturunan Nairasaon masih terasa kuat. Mereka tetap memegang teguh pandangan bahwa pernikahan antar sesama keturunan tidak diperbolehkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun