Beberapa orang berpandangan bahwa orang yang bertipe konvensional akan susah hidup di jaman yang serba modern ini. Jika terjun dalam dunia bisnis (marketplace) maka bisa dipastikan usahanya akan mandek karena  pikirannya yang cenderung konservatif, kaku, dan ketinggalan jaman, di mana era globalisasi menuntut semuanya harus kekinian.
Dalam dunia kerja, orang bertipe konvensional adalah tipe manusia yang terstruktur. Apa yang sudah dikerjakan punya planning a, b, dan c. Tak bisa melangkahi planning b jika planning a belum berhasil walaupun kondisi saat itu memungkinkan.
Hasil pekerjaannya juga tergolong rapi dan penuh ketelitian. Karena hal inilah maka orang konvensional dipandang sebagai orang kaku dan tidak fleksibel terhadap kondisi yang ada.
Seorang teman mengaku bahwa dia juga adalah golongan konvensional yang pada dasarnya memandang segala sesuatunya dengan santai tapi masih memegang prinsip. Seperti halnya saat bertemu dengan rekan yang akan diajak kerja sama, dia pada dasarnya menginginkan nuansa yang santai ala Bob Sadino.
Namun pada akhirnya dia menyadari bahwa kesan pertama menentukan bentuk kerja sama kedepannya. Alhasil perlu menerawang dulu sosok yang akan dihadapi. Tapi rata-rata sih, pada akhirnya tetap berpakaian agak semiformal dengan persepsi bahwa ini bentuk penghargaan (profesionalitas) kepada calon rekanan.
Tidak semuanya pemahaman bahwa orang konvensional itu kolot. Walaupun pikirannya cenderung konservatif, tapi memegang masih teguh prinsipnya utamanya dalam menjalani bisnis.
Misalnya saja ibu saya yang juga bertipe konvensional. Dalam menjalani bisnis kecil-kecilannya, beliau cenderung tak menargetkan keuntungan sebesar-besarnya. Kadang saya malah memberikan masukan bahwa harga yang ditetapkan cukup kecil dibanding pesaing-pesaing yang ada.
Namun dalam kamus hidupnya, ibuku berprinsip asalkan ada untung sedikit dan yang terpenting adalah tetap terjalin hubungan interaksi yang baik dengan pembelinya. Era digitalisasi memuntut untuk bertindak global tapi tak mengurangi prinsip kesantunan dalam berwirausaha.
Ketika berhadapan dengan rekanan, tentunya mereka menemukan beberapa pola hidupnya yang tidak sreg dengan keadaan sang kliennya. Entah itu pilihan tempat pertemuannya, pilihan makanan, minuman, dan kebiasaan lainnya yang mungkin saja tak pernah ditemui.
Tapi agar hubungan terjalin dengan baik maka bentuk penyesuaian adalah tetap menemani dengan menolak secara halus tawaran-tawaran kebiasannya. Bukan berarti  hal yang bertolak belakang tersebut lantas mundur, wah itu bisa-bisa rekanan akan tak nyaman dan memutuskan menyudahinya bentuk kerja sama.
Beberapa pandangan idealis yang mereka pegang mungkin akan berseberangan dengan pandangan modern. Bukan menutup diri tapi bagaimana menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Jika tetap berpegang teguh pada prinsip idealis maka usaha yang dilakukan akan berjalan stagnan.