Papua adalah kawasan yang menarik untuk dijelajahi. Ada banyak hal yang akan ditemukan di Pulau  Cendrawasih ini seperti keanekaragaman budaya, flora faunanya, dan termasuk di dalamnya adalah pengalaman-pengalaman yang baru.
Bagi pemuda tipe petualang, daerah ini adalah salah satu tempat yang rekomendasi keluar dari zona nyaman.
Untuk berkunjung ke sana, selain persiapan fisik yang prima agar tidak mudah terserang penyakit Malaria, persiapan mental dan sikap juga perlu dilatih.Â
Dengan sikap rendah hati, mau belajar, mau mendengarkan maka itu modal dasar agar bisa betah berlama-lama di  Papua.
Namun sayangnya, saya mencatat setidaknya ada tiga sikap keliru yang seringkali dibawa para perantau  muda  ketika datang di wilayah Tanah Amungsa ini yaitu:
1. Egois
Berbekal ijazah yang diperoleh dari Universitas ternama atau mengantongi sertifikat berskala nasional dan internasional, lalu merasa dirinya adalah sosok yang mesti dihormati, menempatkan diri sebagai sosok yang paripurna dan  menggangap pemikirannya adalah jawaban yang paling tepat dalam menyelesaikan permasalahan Papua.
Faktanya, tidak sesederhana itu memberikan jalan keluar dan akan diterima oleh masyarakat yang hidup di Papua. Semuanya itu mesti  disesuaikan dengan kebiasaan masyarakatnya atau  kearifan lokal penduduknya.
2.Mental Materialistis
Silau dengan pemahaman bahwa setiap orang yang mengais rejeki di Papua adalah orang yang punya dompet tebal.Faktanya, hanya profesi tertentu yang punya rezeki demikian.
Tidak seperti saya yang upah bersihnya mendekati UMR yang hampir-hampir setara dengan kota di Indonesia.
Adapun yang membuat saya bertahan di sini karena saya menemukan pengalamanan, inspirasi, ilmu baru yang tak bisa dibeli dengan uang dan hanya bisa ditemukan di daerah ini.
Bukannya tak bersikap realistis, tapi masalah rejeki kelak saya serahkan kepada yang di atas.
Karena kebetulan saya adalah tipe pemuda penjelajah, saya lebih menyukai tantangan yang bisa membentuk mental saya agar semakin kuat
3. Memandang Remeh
Bukan berarti kamu berasal dari kota yang maju dan tergolong metropolitan atau berasal dari lulusan kampus ternama lalu kamu memandang sebelah mata orang-orang di Papua. Bukan berarti kamu lulusan dari kampus ternama lalu memandang sebelah mata orang yang  punya strata pendidikan lebih rendah.
Setiap orang dibekali dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Secara pribadi, saya memang lulusan S1 tapi justru saya mendapatkan banyak ilmu dari mereka yang punya jenjang pendidikan lebih rendah di Papua.
Prinsip saya dari dulu bahwa setiap orang adalah guru tanpa memandang apa latar belakangnya. Dalam diri setiap orang pasti ada hal yang bisa dipelajari darinya.
Saya malah banyak tertolong dengan mereka. Itu bisa kita dapatkan ketika mengosongkan gelas pikiran dan mengisinya dengan air pengalaman.
Jika tetap bersikap angkuh, bisa-bisa akan mencelakakan diri sendiri. Strategi pemecahan masalah yang telah diterapkan di daerah lain belum cocok jika diimplementasikan di Papua.
Kuncinya adalah beradaptasi dengan kearifan lokal, belajar membaca situasi adalah bentuk cara belajar yang bisa membuat kamu mengerti bagaimana kehidupan orang Papua.
Penutup
Papua adalah bagian yang mewarnai etalase kehidupanku, menjadi laboratorium penelitian dan menjadi daerah yang mencambuki saya dengan berbagai pengalaman, tantangan, ilmu, inspirasi yang baru yang saya percaya akan membentuk sikap agar semakin dewasa dalam menapaki tanda-tanda kesuksesan.
Penulis
Heriyanto Rantelino, Pemuda Papua
Facebook: Heriyanto Rantelino (silahkan klik)
Kontak Telepon: 0852-4244-1580
Line: @Ryanlino
![38694541-10212099450153576-388690039162273792-n-5bc458daaeebe1047b224885.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/15/38694541-10212099450153576-388690039162273792-n-5bc458daaeebe1047b224885.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI