[caption caption="Pete-Pete (dok:Pribadi)"][/caption]
Â
   Rentetan barisan mobil Pete-Pete (sebutan untuk angkot di Makassar) memenuhi jalan protokol Makassar  yang pada akhirnya membuatku harus menunggu dan berpeluh dalam himpitan manusia yang turut menumpang dalam mobil ini. Aneka keharuman pun tercium oleh batang penciumanku, bau pengap bercampur dengan bau keringat yang membuat orang pingsan bagi yang tak terbiasa dalam mobil ini. Inilah kisah hidupku yang setiap hari harus menaiki mobil pet pete ini. Lagu dangdut atau House Music yang menjadi lagu andalan di hampir semua Pete-Pete yang aku naiki. Bangku duduk yang gabusnya sudah muali terbual, himpitan penumpang yang terkadang supir supirnya memaksa menaikkan penumpang yang melebihi kapasitas, dan terkadang  berhenti walaupun depannya sudah ada tanda larangan.  Yah, inilah sekelumit ulah para supir Pete-Pete.
    Segudang permasalahan yang memaksaku untuk menaiki pete pete karena tekanan beban hidup yang begitu keras yang pada akhirnya membuatku bersahabat dengan transportasi publik ini. Tak dapat dipungkiri, Pete-pete adalah sahabat masyarakat bawah terkhusus mahasiswa.
   Si mobil biru ini merupakan gudang inspirasiku karena ada berbagai hal yang saya dapatkan. Dalam perjalanan ke tempat kuliah, saya mendapat berbagai problematika hidup yang saya dengar dari pembicaraan beberapa penumpang. Ada yang bercerita tentang masalah kreditnya mulai dari kredit rumah, kredit furniture samapai kredit panci  segala. Inilah  sekelumit cerita yang dialami oleh ibu-ibu penumpang Pete-Pete.
   Para pelajar yang masih ingusan ternyata banyak yang membahas masalah perpolitikan, ekonomi terlebih lagi masalah asmara dimana mereka mengungkapkan kekaguman pada fisik gurunya. Seingatku ketika aku umur seperti mereka yang kami bicarakan palingan tentang permainan nintendo ataukah kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Namun itulah jaman sekarang, semakin maju semakin labil anak mudanya.
   Lain lagi dengan  pembicaraan para ibu yang terkadang membahas masalah sensitif terutama masalah ranjang.  Mungkin benar kata orang bahwa jika sekumpulan wanita ngumpul, mereka tidak ingat waktu dan tempat untuk ngerocos sana-sini. Mungkin kumpulan ibu-ibu  ini layak membentuk komunitas bunda gaul Chapter Makassar.
   Terkadang Pete- Pete dijadikan sebagai tempat ajang gombal-gombalan. Bermula dari selembaran tisu atau sekedar memuji pakaian sesama penumpang, mereka mulai berbasa-basi ria di atas kendaraan publik ini. Lalu mereka saling tukar menukar nomor ponsel atau berbagi Pin BBM dan pembicaraan bisa lanjut sesudah turun dari Pete-Pete.
    Pete pete bisa juga dijadikan sebagai tempat jualan. Seringkali saya menjumpai seorang penumpang  memasarkan produk jualannya kepada sesama penumpang. Ini merupakan trik strategi penjualan kreatif yang perlu dicontoh nih
    Bagi sebagaian orang, Pete-Pete dipandang sebagai salah satu sumber permasalahan di Kota Makassar. Sekitar 70% kendaraan di Makassar adalah pete pete. Begitu banyaknya kendaraan ini membuat persainganpun antar supir semakin tinggi. Alhasil hanya ada penumpang sekitar 4-6 sekali jalan.
     Bagaimanapun juga Pete-Pete banyak berkontribusi kepada masyarakat Makassar terutama kalangan menegah ke bawah. Tanpa Pete-Pete banyak aktivitas masyarakat Makassar yang akan terhambat. Terima kasih Pete-Pete.
Â
Penulis:
Alumnus Universitas Hasanuddin asal Tana Toraja, Heriyanto Rantelino
Facebook:Â Â Heriyanto Rantelino
Twitter: @Ryan_Nebula
No HP: 085242441580
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H