Grace Natalie mengkritik praktek curang Anggota DPR, Caleg PSI mencurangi kami konsumennya, PSI tak peduli.
Tulisan Grace Natalie di Kompas (22/10) mengkritik praktek "curang" anggota DPR mengumpulkan sisa lebih dari amplop-amplop coklat yang diterimanya. Meski aksi itu legal, pengerukan uang rakyat demi keuntungan pribadi anggota DPR harus dihentikan.
Menyiasati mahalnya ongkos politik di negeri ini, tak mengherankan apabila anggota dewan memiliki ide kreatif semacam itu. Jujur saja, itu lebih "mendingan" daripada mengakali anggaran alias menggarong APBN.
Grace Natalie, melalui tulisan itu menunjukkan semangat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk memperbaiki kualitas anggota DPR.Â
Karena PSI belum menjadi bagian dari DPR, logikanya, partai ini akan menyeleksi ketat caleg-calegnya yang kelak akan menduduki kursi terhormat di DPR, agar apabila mereka duduk di lembaga terhormat itu, mereka tidak akan berlaku curang seperti para anggota dewan periode sebelumnya.
Harapan itu indah. Bahkan sangat indah, karena saya sendiri sulit memimpikannya. Apalagi setelah saya tahu berdasarkan pengalaman pribadi bahwa PSI ternyata tidak serius-serius amat mendengarkan pengaduan via Messenger terkait salah satu Calegnya yang mencurangi saya dan para pembeli rumah di Perumahan Grand Viyasa Jatiasih.Â
Memang ada respon tetapi sangat minimalis dan teekesan formalitas belaka, bahwa pengaduan saya akan disampaikan atau diteruskan kepada caleg PSI dari Dapil Jabar IV itu.
Tetapi, seperti yang sudah diduga, tak ada tanggapan apapun setelah beberapa bulan berlalu. Kaget? Tenru saja tidak, karena sudah bertahun-tahun kami dikecewakan oleh si Caleg yang menjadi pengembang Perumahan Grand Viyasa Jatiasih.
Saya sendiri sudah melunasi rumah saya pada bulan November 2016, tetapi sampai sekarang belum mendapatkan hak saya atas rumah yang dijanjikan. Padahal janjinya paling telat 31 Januari 2017. Ini sudah hampir 2019!
Komplain saya kepada ybs selama ini tidak pernah ditanggapi. Surat dan faksimili dicuekin, Surat Pembaca di Detik.com tidak ditanggapi, Surat Pembaca di Kompas (setahun berikutnya) juga tidak mendapatkan respon.
Kebetulan sekali, surat pembaca saya dimuatnya kok ya di halaman yang sama dengan tulisan bagus dari Ketua Umum PSI, halaman 5 Harian Kompas (22/10).Tapi adakah yang menyadarinya? Mungkin tidak.. Hanya sebuah kebetulan yang menyakitkan hati.