Mohon tunggu...
HERI HALILING
HERI HALILING Mohon Tunggu... Guru - Guru

Heri Haliling nama pena dari Heri Surahman. Kunjungi link karyanya di GWP https://gwp.id/story/139921/perempuan-penjemput-subuh https://gwp.id/story/139925/rumah-remah-remang https://gwp.id/story/139926/sekuntum-mawar-dengan-tangkai-yang-patah

Selanjutnya

Tutup

Roman

Rumah Remah-rRemang

11 Agustus 2024   05:29 Diperbarui: 11 Agustus 2024   05:29 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
J-maestro (Dokumentasi Priabadi)


6. Layangan


Seminggu setelah itu pada suatu senja tanpa ku duga Raida dan Milka mengunjungi kosanku. Disaksikan Rahmani, Sidik, Yoan, dan Koyat dari atas beranda; Raida dan Milka sudah menungguku di depan pintu lantai dasar.
Aku menemui mereka. Yoan tidak mau katanya. Yoan berpesan untuk memberikan sejuta alasan kepada Raida  jika kedatangannya untuk bertemu dengannya. Sombong.
Keduanya membawakan makanan dan cemilan. Baik sekali.  Mengetahui itu para sahabatku yang seperti tupai kelaparan di beranda atas segera berseru untuk minta bagian. Mereka kelaparan.
"Yoan turun dong" seru Raida.
Yoan terlihat menggeser duduknya dan menyembunyikan diri di balik dinding.
Ku dengar rekan-rekan yang lain membujuk dan menyorakinya untuk turun.
Kami bertiga ngobrol ke sana dan kemari. Milka memberitahukan padaku bahwa kondisinya memburuk. Badannya semakin panas dan batuknya mulai mengamuk setiap malam. Dibantu Raida, sungguh kesaksian mereka itu membuatku simpati dan percaya.
Tak lama ternyata Yoan turun bersama Koyat yang telah berpenampilan necis. Parfum Koyat begitu menyengat dan membuat pusing. Parfum om-om.
"Mau kemana kau Yat" tanyaku.
"Ke warung dulu. Beli mie dan sarden."
Koyat melangkah pergi tanpa melengos kiri kanan.
"Sahabatmu itu Wan?" Tanya Raida kepada Yoan yang bertingkah sebal.
Ya. Mungkin karena menghargaiku juga Yoan akhirnya kompak. Dia meladeni percakapan Raida. Kami berempat pun riuh dengan obrolan masing-masing.
*
Malam ini hubunganku dengan Milka semakin dekat saja. Bungaku mekar dan semerbak menabur sari dalam relung hati. Milka kembali tumbuh sebagai sosok wanita yang menebar hasrat semangat. Sambil aku selesaikan tugas aku berkhayal dengannya. Berjalan bergandengan dan berpelukan. Itu adalah khayalan yang manis. Sampai kemudian teriakan Yoan diikuti berondongan ketokan pintu memecah segalanya.
"Jan, Jan,Jan!!"
"Apa..Apa" sahutku dari dalam kamar.
"Ke kos Raida Yuk!"
"Malam sudah Wan. Mau ngapain kesana"
"Boke Jan."
"Astaga. Kau mau ngutang sama mereka" Aku menjawab sambil membuka pintu.
Yoan telah rapi dan gaul sekali dandanannya.
"Boke. Duit kiriman tinggal 50 ribu. Ayo kita ke kos mereka"
"Aku malu Wan. Lagian tugasku banyak. Besok sudah deadline"
"Ah kau ini. Aku tak minta. Raida yang menawariku untuk mengambil duit. Lumayan 200 ribu" jawabnya sambil memperlihatkan layar hp. "Ini isi chatnya."
"Aku jika tidak terhimpit tugas sudah ikut denganmu. Tapi ini beneran mepet"
"Payah kau ini" jawabnya setengah kecewa. " Sama siapa ya. Oh..Iya." Dia berbalik "Yat! Yat!"  Teriaknya sambil gentian membrondong ketokan di pintu kamarnya.
Sesaat kemudian sang Arjuna muncul dengan balutan kain sarung. Sambil cengengasan seperti biasa Yoan akhirnya berangkat mengambil uang dengan Koyat.
 "Eh Senin depan hadir ke organisasiku ya?" Tegur Sidik yang baru datang.
"Ah. Kau. Kaget aku. Organisasi apa sih" tukasku sedikit malas.
"Adalah.. Bawa aja Nemos. Dijamin rame kok"
Aku mengangguk dan masuk ke dalam kamar.
Sambil merebahkan diri di atas kasur aku memikirkan tentang sahabatku itu. Yoan. Ya. Dia itu susah ditebak. Punya pengaruh yang kuat terhadap perempuan. Sepertinya kutukan yang dulu ia takutkan sekarang mulai ia lupakan. Sekarang lihat saja. Dia menari dalam kartu kunci yang ia mainkan. Aku merasakan kecemburuan darinya. Aku tak bisa. Sungguh aku tak bisa tega. Bukan aku tak tegas. Sikap untuk meminta sesuatu yang berharga dari perempuan itu susah muncul dari mulutku. Mudah sekali ku lihat sahabatku itu mempreteli apa yang dipunya perempuan. Memang, pada kesempatan awal dia akan tampil habis-habisan untuk bisa meraih tujuannya. Tapi itu jika perempuan yang ia dekati memang benar-benar menumbuhkan bibit cintanya. Jika sedang main-main begini. Lihat saja tadi, dengan enteng dia hendak menghutang kepada Raida. Aku masih canggung untuk berbuat demikian. Tapi berbagi seperti itu, apakah memang cewe suka? Aku takut disangka mata duitan. Ah! Sudahlah. Daripada aku terlalu larut dengan kekagumanku atas Yoan, lebih baik aku meneruskan chat dengan Milka.
*
Jujur saja, menghadiri acara Sidik ini terasa berbeda. Aku dan Nemos merasakan kalau otak kami sedang diaduk-aduk.  Aku dan Nemos penasaran dengan organisasi Sidik. Membulatkan diri serta atas bujukannya,  lantas kami mengikutinya.
Di dalam langgar kampus ini aku merasakan begitu payah. Lebih-lebih sahabatku itu. Aku kadang tertawa melihat Nemos berkeringat dan lubang hidungnya membesar mengatur penyerapan udara. Di ruangan ini banyak sekali umatnya. Hal yang disampaikan juga menarik sebenarnya. Namun entah mengapa semakin lama yang dibicarakan mulai mengarah kepada tujuan individual.
Aku mendengar dan dengan logika yang seberapa panjang ini aku menyimpulkan tujuan dari perkumpulan ini. Mereka menyebut kegiatan ini adalah dakwah. Kami yang hadir diminta berdiri dan kadang bertakbir. Mantap.
Lalu seperti yang sudah ku bilang, pembicaraan mulai mengarah pada konsep kesatuan Islam. Aku setuju sekali dengan hal itu. Tapi mulai teraduk-aduk nalarku jika konsep ini akan mengikuti aturan yang ada di arab sana. Ya. Para sufi ini menginginkan sebuah negara islam. Islam mutlak dan menganggap bahwa agama lain adalah kekeliruan.
Aku merasa memberontak jika demikian. Bukankah kita diikat dengan perbedaan? Bukankah perbedaan itulah yang membuat kita bersatu? Bagaimana mungkin mewujudkan ini. Bukankah Islam dibentuk dan diyakini karena penuh kasih dan kecerdasan ilmu pengetahuannya. Dia dilihat agama lain dan terkagum dengan itu bukan melalui kekuasaan. Agama lain mengagumi Islam karena kedamaian.
Aku dan Nemos menyaksikan Sidik yang asyik sambil berdiri menari mengikuti ritme. Aduh!
"Nem. Cabut Yuk" bisikku.
"Nanti. Masih asyik"
Astaga. Aku salah. Rupanya dia menikmati sedari tadi. Astaga. Matanya membelalak kosong itu ternyata bukan melamun. Dia fokus.
"Sudah ayo berdiri" Ajak Nemos lagi.
Aku mengikuti saja karena semua berdiri. Syair-syair mulai terdengar. Nemos mulai menari. Mirip Sidik dia sekarang. Hanya kurus badannya itu melayang seperti ilalang kering  tertiup angin.
"Khilafah! Khilafah!" seru salah seorang pendakwah.
Semua yang ada serempak menyahut. Syair-syair ini membuat diriku sesak. Ah. Maafkan aku. Bukan aku tak menghargai ini. Tapi hatiku berontak dengan hal tersebut. Aku merangsek mencoba mencari pintu keluar. Nemos tampak tak menggubris ajakanku. Aduh. Bahkan tabiat tukang onani macam dia pun bisa larut dalam senandung-senandung macam ini. Aku harus keluar.
Sampai di depan pintu keluar aku lega mencium udara bebas. Baru mau melangkah keluar langgar, bajuku tampak ditarik seseorang.
"Jangan keluar dulu. Nanggung!" perintah Sidik. "Sebentar lagi Jan"
"Aku mau ke toilet. Tidak tahan lagi" kilahku.
Dia kemudian mengangguk dan membiarkanku keluar. Sambil menjauh menuju kelas aku menggumam sendirian. Nemos besok bisa brewok. Satu lagi kabar baik untuk hari-hari yang ku lihat di kosan. Satu lagi si Koyat. Koyat Sufi hasil pertaubatan dari onani.
Terasa berkilau betul mentari hari ini. Sambil sedikit terhuyung aku berjalan berjejal dalam kerumunan mahasiswa untuk menuju ke kelas. Hendak masuk ke dalam ruangan tiba-tiba muncul Milka. Aku senyum saja karena memang kepalaku sedang payah.
"Jan..Tunggu.."
Aku membalikkan badan. Ya Tuhan. Wajah mungilnya tak bisa ku dustakan. Dia sungguh segar dengan rona bibirnya yang cerah berpendar cahaya kemerahan.
"Kau tak enak badan?" Tanyanya.
"Rasanya mau tersungkur. Tapi ini sudah mendingan."
"Kau kenapa?"
Aku menjawabnya. Berada di dekatnya sambil menunggu dosen aku berbicara sebentar. Entah kenapa juga pusingku berangsur surut.  
"Kalau kau tak kuat mental, tidak usah lagi kau kesana" nasihat Milka dengan mata bulat penuh empati. Sungguh! Aku suka melihat itu.
"Jan. Aku ingin pinjam sesuatu, boleh?"
"Apa Mil?"
"Malam ini aku hendak mengerjakan tugas kuliahan. Itu yang pembuatan penelitian dari Pak Zul"
Aku mengangguk.
"Jadi?"
"Aku hendak ke rumah temanku, Maryam. Aku dan Raida mau bekerja kelompok di sana. Tapi helm aku tak punya." Sampai di titik ini rautnya ubah memudar.
"Helm kau kemana?"
"Hilang saat di Duta Mall" jawabnya sambil mengulum senyum.
"Astaga?"
"Aku pinjam helm kamu ya"
"Memang kau tahan mengendus wanginya" Candaku.
Tiba-tiba dia mencubit pinggangku.
"Bore" sambil memukul bahuku dengan manja.
Aku menangkis saja dengan lembut. Dia seperti kegemasan siang itu. Sesaat setelah tangannya turun untuk mengusiliku lagi. Ya dia berniat untuk mencubit lagi. Aku segera tepis dan tanpa sengaja aku menggenggam jemarinya. Astaga. Jantungku berdenyut hebat manakala ku simak pipinya memerah dan bibirnya merekah mesra.
Aku silap dalam takjub. Dia pun demikian. Entah refleks, perlahan kami melepaskan rajutan jemari itu.
"Aku belikan kau helm ya" ujarku gerogi. Payah. Ku simak Milka paham itu.
Dengan tersipu dia menjawab.
"Aku tak ingin membeli helm. Cukup meminjam darimu saja."
Ya Tuhan. Aku merasakan bias asmara menyusup dari denyutan jantung dan membuncah melalui pori-pori. Mungkin saja sekarang jendela kalbu Milka telah terbuka untukku.
"Kapan?"
"Sore ini aku ke kosmu"
"Aku hanya berpesan kau dan Raida hati-hati berkendaraan ke kosku"
"Aku sendirian."
*
Wah sungguh mekar perasaan ini. Aku bukan hendak lebay. Selepas  perkataan Milka tadi aku langsung pulang ke kos. Aku bolos saja. Sampai di kos langsung aku ambil halmku dan ku tarik gabus di dalamnya. Aku cuci dan kubalurkan pewangi. Semoga saja sore sudah kering.
Sambil menikmati sebatang rokok aku santai di sebuah anak tangga.
Gludak!!! Gludak!
Bunyi pintu didorong dengan kuat. Aku lihat ke bawah. Ya Tuhan. Sebuah boneka beruang berwarna merah jambu besar sekali seukuranku, mungkin lebih besar lagi terlihat menyembul dan memenuhi pintu. Di balik boneka itu ternyata si Koyat tengah kesulitan untuk membawanya. Aku segera turun membantu
"Mantap , Yat" sambil aku longgarkan beberapa bagian dari boneka agar bisa masuk.
"Iya, Jan. Pacarku ulang tahun malam ini."
Oke. Ternyata punya kepedulian juga sahabatku ini. Mungkin inilah kelebihan dibalik perangainya yang aneh itu. Sekarang perlahan aku sadar bahwa Koyat mempunyai sifat pengertian. Buktinya dia rela membawa boneka sebesar ini. Pikirku bagaimana pula dia membawanya. Penasaran aku tanyakan saja.
"Aku ikat dengan badanku saja" jawabnya sambil tertawa.
"Pacarmu orang mana Yat. Sekampus?"
"Kalau yang di kampus itu hanya sekadar hiburan Jan"
Akay! Ngeri juga si Koyat. Polos-polos begitu ternyata petualang cinta dia.
"Jadi?"
"Di desa, Jan. Anaknya baik. Dewasa. Tahun ini dia lulus dan mau kerja"
"Lho, kita baru beberapa semester di sini" Aku sedikit heran.
Sambil tetap memeluk bonekanya dia menjawab.
"Kami sudah komitmen. Dia fokus bekerja sambil menungguku selesai kuliah"
"Jadi selesai kuliah, kau kawin"
"Pastinya" dia terkekeh lagi. Jujur, kekehan Koyat itu membuatku bertumbuh lagi rasa jengkel.
"Sebesar itu, kapan kau mau berikan?"
"Malam minggu ini. Tepat pada hari jadian kami".
Aku tak bertanya itu, bambang, batinku.
Dia kemudian membawa bonekanya menaiki tangga. Karena khawatir dia terjatuh, aku bantu mendorong boneka itu.
*
Sekitar jam 4 sore aku lihat Milka datang. Dia tepat akan janjinya. Dia datang sendiri. Asyik. Aku yang sudah perlente segera ke bawah. Aku menuruni tangga dengan menenteng helm dan cemilan. Dia duduk di kursi dekat pintu masuk. Ibu Kos menatap tajam dari bibir pintu rumahnya. Mungkin dia takut kalau anak ini aku macam-macami. Aku senyum saja.
"Kawan Bu.  Rileks saja" kataku santai.
Ibu kos lalu masuk ke dalam.
"Ibu kosmu kenapa Jan, kemarin biasa-biasa saja"
"Sebenarnya jika kau berdua kesini tak mengapa" jelasku sambil mengoyak beberapa cemilan yang ku bawa. "Tapi karena kau sendirian, ya begitulah. Buruk sangkanya kambuh."
Milka hanya mengangguk. Kami berdua berbicara sambil nyemil. Di sela pembicaraan, Aku dan Milka sedikit terkejut oleh sebuah bunyi gaduh dari beranda atas.
Ya Tuhan. Si Koyat sedang menjemur bonekanya. Sore-sore begini? Dasar tukang pamer. Pikirku.
"Besar sekali boneka punya kawanmu, Jan" tanya Milka kagum. Ini yang aku tak suka. Sebentar lagi pasti dia akan menagih. Aduh.
"Untuk pacarnya. Hari jadian katanya"
"Aku belum ada di kos boneka yang besar seperti itu" jawab Milka sambil memalingkan pandangannya. Kini Milka menatap wajahku. Benarkan. Hal inilah yang aku sebal. Tapi tak bisa ku hindarkan dan munafikkan bahwa rona itulah yang ku damba. Wajahnya yang putih dengan alis tebal serta mata tajam begitu menjungkirbalikkan kalbuku.
"Memang muat kamar kosmu?" kataku mencandai dia.
"Iya. Ya. Mungkin tak muat?" jawab Milka tersenyum manis. Tapi aku tahu dia berbohong. Dia hanya sadar bahwa mungkin aku telah beranggapan seperti yang ia duga. Itu benar. Milka hanya takut jika permintaan tersirat itu akan membuat beban bagiku.
Kami melanjutkan obrolan dengan santai hingga senja kian merona kuning. Milka lalu  pamit dengan membawa helmku yang telah wangi aku semprot pake parfum axe.
Dalam langkahnya yang hendak pulang itu dia berkata:
"Seminggu lagi kau datang ya. Itu hari spesial bagiku"
"Maksudnya?"
"Aku ulang tahun, Jan?" tukasnya sambil ketawa.
"Pasti" jawabku juga dengan iringan tawa. Mampus aku.
*


7. Tragedi


Ya ampun, harus kerja ini, pikirku pada malam harinya. Tapi kerja apa? Hubungan kerja aku belum punya. Harian harusnya ini karena waktunya mepet. Tidak bisa tunggu gaji sebulan. Ah!
Barusan aku menanyakan harga boneka itu kepada Koyat. Lumayan ternyata. Harganya sebanding dengan biaya kos selama tiga bulan., hampir 500 ribu. Kalau Yoan sih gampang perkara ini. Tinggal utang atau bohongi ortu di rumah, selesai. Aku masih canggung berbuat demikian. Lagian, orang tuaku juga tak semapan dia. Rasa tidak tega malahan. Ah, aku bolak-balik bantal dan menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal.
"Jan, Jan..."
Itu Nemos. Mungkin dia ingin minta nasi atau lauk lainnya.
Aku beranjak dari tempat tidurku. Dengan setengah malas aku membuka pintu.
"Kau ada lauk apa. Nasi habis, lauk tak ada. Aku kelaparan" sergahnya sambil matanya mengintai barisan perkakasku.
Benarkan, batinku.
"Aku tak ada lauk. Nasi ada. Mie mau?"
"Mana"
Aku tunjuk saja  sebuah gantungan plastik berwarna hitam.
Nemos segera bertindak dengan mengisi air ke dalam wajan. Klek! Kini ia nyalakan kompor.
"Nem, gimana Ya?"
"Gimana apa?" jawabnya sambil mencampur bumbu-bumbu ke dalam mangkok yang ia telah bawa. "Bawang putih ada?"
"Buat apa?"
"Campur. Enak Jan"
"Cari dalam toples itu" kataku sekali lagi menunjuk.
"Bawang putih menjauhkan kanker" Balas Nemos dengan yakin. "Wahh.." dia terkejut.
"Apa?"
"Kau punya beberapa telur ayam. Aku minta satu ya?"
"Kau ambillah yang kau mau"
Nemos menceplok telur mentah itu kedalam air yang mulai mendidih. Tak lama kulihat ia campurkan mie. Dia aduk-aduk dengan durasi tak sampai dua menit. Setengah matang mie dan telur yang masih kuning encer itu ia bangkit. Ia campur ke dalam piring yang telah ia tuangkan nasi.
"Nikmat" katanya.
Gila dia. Mana ada seperti itu. Amis. Kuning telur itu meleleh melebur bersama nasi berpadu dengan bawang putih yang telah ia iris. Akay! Aku mampu mebayangkan keanyirannya.
Tampaknya dia sadar dengan pikiranku. Dia lalu menyahut.
"Gak usah pasang ekspresi begitu" ujarnya sambil menyeruput mie. Kuning telur itu kini bermain-main di tepian bibirnya. "Makanan bergizi ini. Penambah hormon dan meningkatkan libido" lanjutnya dengan mimik serius. Ada kebanggan di balik kata-katanya itu. Ah. Mungkin karena kebiasaannya yang katanya meningkatkan libido ini yang membuat dia mudah berfantasi. Dia pecandu onani sepanjang hari.
Aku hanya menggeleng-geleng. Aku tak anggap itu apa-apa. Sambil melihat Nemos makan dengan beringas aku ajak saja dia mengobrol tentang hal yang kupikirkan sejak tadi.
"Ngamen saja, Jan. Cepat itu"
"Ah.., malu aku. Mana ada sarjana mengamen. Macam-macam saja. Aku hendak kerja"
"Memang kau sudah dapat lowongan?"
"Besok aku cari"
"Kau besok baru mau mencari. Jika sudah ada mending, ini kau lagi proses. Kau nanti akan menulis surat dan menunggu panggilan. Waktumu kau sia-siakan. Kau bilang tadi hanya satu minggu. Dapat dari mana duit sebesar itu dengan waktu singkat? Kalau kau mengamen, hariannya pasti atau nyata"
Aku menimbang-nimbang ada benarnya juga temanku ini. Cerdas juga logikanya. Tapi aku masih belum percaya diri untuk lari ke profesi baruku nanti.
"Ah, banyak pikir kau." Dia membaca pikiranku lagi. "Tak usah minder untuk seorang yang kau sayangi Jan. Perjuangkan. Takbir!"
Ya, ampun. Dia mulai termakan ceramah organisasi Sidik.
"Nggak usah kau kusut seperti itu. Kalau kau mau. Malam ini pun aku teman kau mengamen."
"Sekarang?"
"Tahun nanti" hentaknya dengan jengkel. "Kalau cinta itu jangan kau tunda."
Wes! Mantap. Kuning telur itu telah menjadi suplai protein bagi otaknya. Ternyata bukan air yang ia perlukan untuk pikirannya itu. Nemos hanya perlu telur ayam dan mie untuk membuatnya cerdas macam Enstaine.
*
Banjarmasin memang tak sementropolitan Jakarta. Di sini arus permukaannya tenang. Tapi di dalam perut, arus itu juga deras. Dalam bias rembulan yang tersapu-sapu dedaunan pohon akasia, aku menyaksikan betapa suasana hangat  malam kota Banjarmasin. Rutin selama 4 hari ini aku dan Nemos menjajakan suara kami untuk mengumpulkan dua ribuan agar boneka pesanan Milka datang.
Selang waktu ini tubuhku sebenarnya mulai tak respek dengan cuaca malam. Dingin menusuk hati dan kian larut badanku kian menggingil. Dalam mengamen, kami berpindah-pindah mulai tempat nongkrong, kafe, pasar, hingga lampu merah.
Yah lumayanlah. Sepertinya dalam seminggu ini boneka itu pasti terbeli.
Sesak membludak saat kedatanganku dan Nemos di pasar Kalindo malam ini. Wajar saja, malam ini adalah malam minggu.
"Eh kau tak jalan dengan Milka?"
"Gak Nem. Badannya sakit. Muntah-muntah katanya" jawabku kepada Nemos.
Aku ceritakan awal mula yang Milka rasakan sebagai bentuk rasa simpatiku. Sudah mendayu-dayu aku ungkapkan apa yang Milka rasakan kepada Nemos, sahabatku ini. Perasaanku, aku bercerita sudah totalitas. Eh usut punya usut Nemos malah asyik melihat cabe-cabe SMA dengan pantat penuh.
"Bangke!!"
"SSSTTT!!! Pegang nih gitar. Saatnya pria dewasa macam aku bertindak" katanya yakin.
Tumben temanku ini. Rupanya dibalik penderitaannya itu tersimpan cita-cita. Dia merindukan perempuan.
Nemos maju mendekati cabe itu. Tubuhnya yang kurus ia busungkan. Mantap juga. Dengan yakin dia mendekat untuk merapat.
Sejauh ini aku mulai menurunkan kadar kekagumanku padanya. Aku menyaksikan raut cabe cabean itu kian pedas saja. Ku saksikan pula perubahan iklim di wajah Nemos. Kadang dia tertawa kadang dia garuk garuk kepala belakangnya. Ah. Tak beres ini. Sesaat kemudian, dengan sedikit membungkuk Nemos mulai menjarak lalu berjalan ke arahku.
"Bagaimana?"
"Dia orang Sungai Miai. Namanya Lala. Masih sekolah" katanya sambil senyum senyum.
"Terus-terus" Buruku.
"Apanya yang terus. Waktu aku mau minta WA, eh malah dia bilang kalau gak mau pergi akan diteriakin maling"
Ku pukul punggung kawanku. Aku menahan tawa. Apalagi kusaksikan mukanya yang sudah mirip nanas layu itu.
Tak apalah. Paling tidak kawanku ini telah berusaha. Kami melanjutkan mengamen hingga tak terasa mulai lewat jam 9 malam.
Ketika hendak keluar dari pasar Kalindo, secara sepontan hidungku mencium aroma parfum Milka di antara kerumunan orang yang berdesak-desakan. Mataku segera memutar memastikan itu. Benar saja, Milka.
"Milka!!" Panggilku
Dengan terkejut, dia berusaha menyembunyikan dirinya. Taka pa, aku kejar dia.
"Hei?" kataku lagi sambal ku raih tangannya.
"Ehh..Jan. Ehhh...emmm sedang apa kamu di sini" jawabnya gugup.
Iya juga. Duh bodohnya aku. Selama ini aku tak memberitahunya karena malu. Ahh. Sialan. Bagaimana ini.
"Kami sedang memamerkan skill kepada khayalak ramai' tukas Nemos santai.
Makhluk biadap. Pede sekali dia nongol saat suasana demikian. Tanpa dosa makhluk itu menyelinap dan membaur dengan kami.
"Maksudnya??"
"Alah udah.." kataku segera. "Kamu sendiri bukannya sakit demam?"
"Iyaa..." sahutnya lirih. "Aku suntuk di kos. Jadi kesini..Ehh aku masih penasaran, apa yang kalian la.."
"Ehhh Jani?!!" seru seorang pria ikut bergabung.
"Koyat??!!!!"
"Eh..ini kenalin. Pacarku..baru seminggu" kata Koyat menunjuk Milka.
Tentu saja aku terperangah. Nemos juga sama. Milka tertunduk pucat sembari tangannya meremat remat bungkusan yang ku yakin itu baju.
Harus bagaimana aku. Napasku terengah. Tubuhku seketika kaku. Udara dingin malam ini berubah hangat lalu menguap karena panas. Tanganku tanpa kontrol telah mengepal. Nemos segera maju mendekatiku.
"Jan. Kita pulang, Jan.!!" serunya sangat cemas.
Aku diam saja memandang tanah. Mataku mulai berkunang. Pusing. Bergemuruh dadaku serasa api mulai membakar. Banjir keringatlah malam ini.
"Jan!! kita pulang..Ingat, dia kawan!!" serunya lagi. Kali ini dia menggengam lenganku yang sedari tadi terasa membatu.
"Eh ada apa??" Tanya Koyat yang sama sekali tak paham.
"Nggak Yat, Nggak ada?? Kami duluan" sergah Nemos.
Layaknya patung aku diseret beku. Membelah kerumunan ramai, kami keluar dari pasar meninggalkan mereka.
Ku tatap tajam dari kejauhan. Dadaku yang memanas melihat mereka berdua yang juga keluar menuju parkiran.
Saat aku dan Nemos hendak pergi. Aku masih menatap mereka dengan tanpa rupa apa itu sahabat atau apa itu penghianat. Namun yang membuatku kian terbakar adalah saat keduanya sedang bersiap mengenakan helm. Di saat itu aku seperti banteng yang sudah tak terkendali.
"Bangke!!!!! Helmku!!" aku meloncat dari motor Nemos yang sudah jalan. Layaknya anak panah aku melesat kencang ke arah mereka.
"Jan!!! Jan!! Heiii...Heiii" Nemos berupaya mencegah tapi gagal. Bunyi brak !! terdengar. Nemos membanting motornya di tepi jalan.
Merangsek maju. Tabrak. Sikat! Aku sungguh tak peduli ini di mana. Yang kurasa saat ini jiwaku sesak penuh semacam uap panas. Sang angkara membalutku dengan api buta. Ku pandang sambil berlari serasa melihat binatang buruan yang luka. Milka mengenakan helm yang dia pinjam dariku. Tak terbendung lagi. Tak terkontrol lagi. Kaki kananku meluncur seperti peluru ke arah Koyat. Malam itu kacau sejadi-jadinya.
*
"Salahku juga sebenarnya" kata Yoan dari balik dinding kamar kos. Semua berkumpul di situ terkecuali Koyat. Jam berderak menuju tengah malam. Di luar gerimis tapi toh dadaku penuh bara yang tak padam.
"Aku tak menyangka juga saat aku ambil uang dari Raida bahwa hubungan Koyat itu ternyata berlanjut."
Percuma semua kalimat motivasi yang keluar dari mulut Yoan. Bagiku tak ada apapun selain sesak. Skesta kenangan bercampur khayalan yang hancur lebih menguasai kalbuku. Ya. Hanya itu. Semuai rantai itu berurutan mengikat otak dan jantungku yang sedari tadi masih berdegup kencang. Kata tanya mencecarku terus menerus. Di hari yang ku perjuangkan. Di hari mendekati ulang tahunnya. Di hari akan ku penuhi keinginannya. Mengapa Koyat?? Mengapa aku kalah dari kelabang itu.  Ahhh!! sangat menyiksa dan menjerat. Di balik pintu kamar yang terbuka sedikit, pandanganku kabur bahkan aku seolah bukan berada dalam kamar ini.
Lamunanku terus terbang penuh dengan luka dan duri. Hingga tak ku sadari sebuah suara pelan muncul dari depan pintu yang terbuka sedikit itu.
"Jan..Aku minta maaf. Sungguh aku tak tahu kalua kau..."
Ahhh!!!! Setan kelabang !!! Spontan aku bangkit dan segera menumbuk pintu.
Koyat terjungkal ke teras. Di atas jemurannya yang masih tergantung itu sungguh ku luapkan kembali emosiku. Dia terhuyung. Ku tak tahu lagi apakah tumbukanku tadi mengenai perut atau bagian mana. Sidik mencoba menengahi tapi baru selangkah, dia dicegah Yoan.
"Biar saja. Puaskan saja dulu hatinya!" kata Yoan seingatku.
Tanpa ba bi bu dan keraguan sedikitpun aku menyeringai kalut. Habis tumpah ruah segala bunyi gaduh memekak malam. Ku hantam Koyat yang mulai bertahan. Berkelit! Lepas! Dan sesaat ku rasa tubuh kakuku rubuh menghatam dinding. Pipiku terasa pegal.
Aku bangkit lagi dan ku daratkan lagi seranganku. Kali ini telak ke dagunya. Dia rubuh di bawah jemuran! Dengan semua umpatan yang tak terelakkan ku manfaatkan ketidakseimbangannya itu. Segera ku kunci kedua lengannya. Ku tindih dengan badanku. Dengan posisi tengkurap, ku seret kepalanya; ku benamkan ke dalam bak bersabun yang masih berisi rendaman bajunya.
"Mampus kau!!" kataku kesal bertumpah ruah.
Kepalanya menggeleng-geleng liar. Ku yakin separuh sabun bercampur daki pakaiannya itu telah ia telan dalam-dalam.
Kami bergumul cukup sengit. Dia memberontak bagai sapi qurban yang enggan disembelih. Aku hilang kuncian. Dia menyikut belakang dan sungguh kepalaku terasa berputar karenanya.
Belum hilang pusaran itu, ku rasakan sesak mendalam di bagian leherku. Sambil berdiri membungkuk Koyat menjeratku dengan pusaka sarung basah berbau ikan kering tenggiri yang sejak tadi berada di atas kami. Aku berkelit ke kanan dan ke kiri berusaha longgarkan jeratan. Tangan kiri menyelinap ke dalam areal jeratan dan tangan kananku mulai naik ke atas. Ku jambak rambutnya agar tumbang.
Lepas!
Merasa belum puas. Kami segera siapkan kuda kuda kembali. Sebelum bertabrakan tiba-tiba Yoan menyeru sambal berusaha menangkapku.
"Ehhh!!! Bapak kos naik. Sudah! Sudah!"  katanya sambil memiting bahuku. Nemos ikut mengunciku. Di depan mulai ku pandangi dengan lelah Koyat juga sedang dikunci Sidik dan Rahmani.
Derap langkah tegas dan seolah membabi buta mulai terdengar pekat mendekat. Bapak kos tiba.
Menyaksikan tempat sewaannya kacau balau dengan dinding patah dan pintu jebol tentu membuat beliau murka hebat.
Plang!! Plang!! Plang! Plang! Tamparan terukur melayang tebal mengenai kepalaku dan Koyat. Tak banyak ku gubris kemarahan dan aneka nasihat dari beliau. Cukup lama, hingga akhirnya usai dalam hening dan senyap. Semuanya masuk ke kamar masing-masing.
*
Di kamar ini ku lihat jam dalam layar ponselku merambat pukul dua malam. Ku saksikan sekitar 20 pesan WA masuk. Yah itu semua dari Milka. Persetan. Tak ku buka dan dengan payah akhirnya aku selesai berkemas.
Keputusannya jelas. Kami berdua harus berkemas malam ini. Tinggalkan kos dan besok pagi menyiapkan transportasi angkut untuk barang-barang yang besar. Hanya ransel berisi pakaian untuk menginap saja yang ku bawa.
Berjalan nyeri dan pegal dan mulai bersalaman pamit dengan sahabat, termasuk Koyat langkah kakiku merambat lalu menuruni tangga. Sesaat aku sudah di lantai bawah. Ku perhatikan Koyat juga mulai berkemas.
Sambil bersiap menyalakan motor, ku tatap canggung pada rumah kos bercahaya remang itu. Aura rembulan memantulkan sinarnya ke bumi. Bintang terdiam disapu awan yang mungkin mendung. Bisik angin serasa memintaku untuk segera hilang. Ku pikir sejenak; bukankah kami hanya remah-remah roti yang mencoba mengisi celah cinta dan cerita di pinggir kota congkak ini.

Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun