“Pa.., mama kasihan melihat papa terlalu sibuk mengurusi mama. Papa tentu juga harus memikirkan yang lain, perusahaan, anak-anak dan kebutuhan papa sendiri. Pa..mama ikhlas jika papa ingin menikah lagi. Mama sadar tak bisa menjadi istri yang sempurna untuk kehidupan papa saat ini. “ Dee mencoba memberanikan diri menyampaikan uneg-uneg yang sudah beberapa bulan dipendamnya.
“Ah, mama jangan berpikir yang tidak-tidak. Papa tak mungkin meninggalkan mama dalam kondisi seperti ini. Ini adalah tanggung jawab papa sebagai seorang suami. Biarkan papa mengurus mama sampai sembuh. Papa akan tetap berada di samping mama. Kita akan tetap bersama dan bahagia bersama, ma. Tak ada yang boleh merebut kebahagiaan kita dengan cara apapun.“
Dee nyaris tak percaya mendengar jawaban suaminya. Ia terbatuk dan tak sengaja tangannya bergerak menyenggol tumpukan buku yang terjatuh di lantai. Buku yang pernah diharapkan ada puisi yang ditulis suaminya.
Dipungutnya buku itu dengan dibantu suaminya. Di bukanya buku itu. Dee terpana, ada terselip sebuah foto indah saat awal-awal pernikahan dahulu yang warnanya sudah mulai memudar. Foto saat-saat di puncak kebahagiaan bersama suaminya. Ditatapnya lekat-lekat wajah suaminya yang polos.
Dee tersenyum, ia sudah menemukan puisi itu. Puisi terindah dari seluruh puisi di dunia ini.
** end **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H