ilustrasi : docpri
Â
setiap kali menatap rimbun daunmu
selalu terlintas masa kecil di kampung halaman
di kanan kiri pekarangan
di belantara hutan-hutan
sosokmu seolah menyatuÂ
dalam gerak hidup para penghuni desa
kauiklhaskan daunmu pada para penjual tempe
membungkus biji kedelai yang ditanam petani
menghidupi para pedagang dan anak-anak yang kelak menjadi presiden
kaurelakan daunmu menjadi pengemas makanan kenduriÂ
kauserahkan ranting dan dahanmu yang mengering
pada para pencari kayu bakar
bahkan daun-daunmu yang kering
kaubiarkan menjadi abu mengiringi ritual bakar singkong pagi hari
dan yang lebih membuatmu bernilai
batang tubuhmu membuat orang-orang kaya rela
membelimu dengan harga tinggi
menyulapmu menjadi perabotan, mebel, rumah bahkan istana
bahkan bisa melambungkan status sosial dan gengsi
setiap kali menatapmuÂ
dari atas balkon rimbunmu menyeruak
ke masa silam
kala bersama teman-teman kanakku berburu sarang burung di pucuk-pucukmu
atau memukul biji-biji keringmu dengan batu
lalu kumakan layaknya kwaci
dan memanjat dahanmu sambil menikmati udara siang hari
lepas sekolah
oh, indahnya desaku dahulu
hidup dikelilingi pohon jati di sana-sini
dan saat musim penghujan
kaurelakan daunmu digilir sang ulat
beberapa minggu kemudian kepompong bersarang
sebagian turun dari daun dan bertapa di balik batu
masa panen kepompong telah tiba
inilah saatnya bagi penduduk desa
menambah hidangan protein di meja makannya
dan setiap sore saat menatapmu
dari atas balkon gedung kantorku
aku seperti menonton televisi
yang menayangkan siaran nostalgia
masa kecilku
Jakarta, 2 Desember 2015
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H