Mohon tunggu...
Heri Purnomo
Heri Purnomo Mohon Tunggu... Administrasi - nothing

-

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Merasa Aman-aman Saja

1 September 2015   18:07 Diperbarui: 1 September 2015   18:07 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini adalah sedikit catatan pengajian dari Ustadz Syahroni Mardani, Lc di Masjid Baitul Muttaqiin, Perumahan Jatijajar Depok pada tanggal 29 Agustus 2015. 

Jika hari ini kita beriman, akankah kita merasa aman-aman saja karena yakin esok hari kita tetap dalam kondisi beriman? Jika hari ini anak-anak kita menjadi anak yang baik, akankah kita merasa aman-aman saja karena yakin esok hari akan tetap baik? Jika hari ini istri atau suami kita masih setia mendampingi kita, akankah kita merasa aman-aman saja karena yakin esok hari masih demikian adanya? Jika selama ini rumah yang kita huni selalu aman dari pencurian, apakah kita merasa aman-aman saja karena yakin tak akan ada pencuri yang sekali waktu mengincar rumah kita saat kita lengah? Merasa aman-aman saja seringkali menjadikan lengah dan tidak siap mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa terjadi. Padahal, setiap detik keadaan dan gerak hati bisa berubah saat sedetik saja lupa mengingat-Nya.

Tidak sedikit saudara kita yang pagi hari beriman, sorenya menjadi kafir. Ada pula yang anak-anaknya selama ini baik dan rajin beribadah, di suatu saat tertangkap aparat sedang mengkonsumsi narkoba. Atau sebuah keluarga yang selama ini kesehariannya nampak harmonis, di lain waktu kita mendengar mereka berpisah karena ada orang ketiga yang memicu perceraian mereka. Banyak lagi contoh-contoh yang seringkali kita tidak habis pikir dan bertanya-tanya : “ kok bisa ya?” Memang demikianlah keadaan kita di muka bumi, tak ada yang bisa merasa benar-benar aman dari azab Allah. Sedetik saja kita merasa aman dari azab Allah, kita berpeluang menjadi orang-orang yang merugi sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-A’raf: 99.

Jika anak kita hari ini nampak baik, tak ada salahnya kita tetap melimpahkan perhatian dengan tidak membiarkan anak kita lepas kontrol karena orang tua merasa aman dengan perangai anaknya yang selalu baik selama ini. Orang tua berhak dan boleh tahu siapa teman anaknya dan apa saja aktifitasnya di dalam dan di luar rumah. Apalagi di zaman sekarang di mana pergaulan dan teknologi berkembang pesat dan memudahkan untuk berkreasi apa saja, maka peluang untuk tergelincir dan berubah ke arah positif maupun negatif pun bertambah besar. Maka ketika orang tua bersikap merasaan aman-aman saja terhadap perkembangan anaknya, maka sikap ini tentu berbahaya. Orang tua boleh menjaga anaknya agar tidak mudah mendapatkan peluang berbuat hal-hal negatif, misalnya sekali waktu mengecek isi handphone anaknya. Sekali waktu pulang ke rumah di luar jam-jam yang ditentukan. Ini adalah salah satu bentuk pengawasan di mana sang anak merasa selalu ada yang memperhatikan dan mengawasi dirinya.

Demikian pula seorang suami atau istri terhadap pasangannya, sekali waktu bolehlah saling mengingatkan dan menjaga diri agar mahligai rumah tangganya tidak terancam oleh gangguan yang bisa menghancurkan rumah tangganya. Misalnya, seorang istri hendaknya suka berdandan meskipun di rumah agar terlihat menarik di depan suami. Dan istri sekali waktu boleh melihat mengecek apa yang dilakukan suami, termasuk sekali waktu melihat konten handphone suami meskipun tidak harus berlebihan atau "kepo" bahasa gaulnya. Demikian juga seorang suami pun boleh sekali waktu melakukan hal yang sama kepada istrinya. Sikap saling tidak merasa aman-aman saja sejauh tidak berlebihan ini bisa menjadi sistem pengawasan keluarga agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Karena jika tidak artinya memberikan peluang kepada pasangan untuk berbuat di luar sepengetahuannya.

Jika hari ini kita merasa aman-aman saja karena kita rajin beribadah, rajin sholat di masjid, hafal al-Quran lalu merasa masa depan di akherat sudah dijamin maka ini juga menjadi peluang hati kita digelincirkan oleh syaiton, sehingga syaiton berhasil menanamkan perasaan ujub di hati kita. Dengan merasa nasib kita kelak aman-aman saja, maka usaha kita untuk menjadi lebih baik lagi menjadi berkurang. Usaha kita untuk meminta pertolongan Allah agar senantiasa ditunjukkan ke jalan yang lurus menjadi terdegradasi oleh perasaan aman dan puas dengan kualitas ibadah kita saat ini. Kita bisa menjadi lupa dzikrullah, meningkatkan kualitas amal ibadah dan lebih mengingat-ingat amalan-amalan yang sudah dilakukan. Padahal sifat ujub atau membanggakan diri seperti ini bertentangan dengan kehambaan manusia, karena yang boleh bangga dan merasa suci hanyalah Allah Swt. Karena pada hakekatnya kita bisa beribadah dengan baik itu semata-mata anugerah Allah Swt. Kita hanyalah hamba yang tak memiliki daya dan kekuatan melainkan atas rahmat dan pertolongan-Nya semata.

Itulah sifat hati manusia yang mudah berubah jika tak mendapat pertolongan Allah. Karena Allahlah yang berkuasa membolak-balikkan hati kapan dan di mana saja.

Maka, betapa kita tak benar-benar bisa merasa aman dengan keimanan yang kita miliki dan dengan kebaikan dan anugerah Allah yang kita nikmati saat ini. Beruntung rasulullah mengajarkan doa agar Allah senantiasa menetapkan dan menjaga hati kita untuk tetap berpegang kepada agama yang lurus. "Yaa muqallibal quluubi sabbit qalbii ‘ala diinika". Artinya: “Ya Allah, Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.” (H.R. Tirmizi)

Amin ya robbal alamin.

Depok, 31 Agustus 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun