Sementara di dalam negeri sendiri,
kita sedang terpasung
oleh “proses blantikan” para politisi di DPR
yang menghasilkan bermacam UU yang menjerat bangsa sendiri.
Inilah kompleksitas ancaman sekarang ini,
bahwa musuh tidak saja datang dari luar
tapi juga dari liang-liang gelap bangsa kita sendiri.
Akhir tahun 2015 ini, Seorang sahabat (Letkol (P) Salim, penulis buku Best Seller Dzikir Daud mengirimi saya epilog bukunya yang keempat yang diberinya judul: BLUE PRINT INDONESIA MARITIM 2035. di tahun 2015 ini, katanya dalam pengantar emailnya kembali kita dikejutkan oleh kisah para penjarah aset bangsa melalui terbongkarnya skandal “Papa Minta Saham” yang dilakukan oleh Ketua DPR RI, Setya Novanto setelah sebelumnya mantan bendahara Golkar ini melakukan tindakan yang merendahkan martabat bangsa dengan “sowan” ke Donald Trump, sang capres Amerika yang terkenal rasis dengan mengabaikan etika dan kepatutan status dirinya sebagai wakil rakyat. Berikut Petilan epilognya:
Penjarah-penjarah didikan Orde baru rupanya masih banyak yang berkeliaran di gedung wakil rakyat yang terhormat. Mereka tidak saja “menggunting dalam lipatan” kepercayaan rakyat tetapi juga tanpa rasa malu terus saja mencoba menjuali asset bangsa (freeport) dengan mencatut nama presiden sekaligus memanfaatkan posisi strastegis DPR yang jadi puncak ekspektasi perubahan bangsa ini. Sebaiknya rakyat tak boleh permisif (melakukan pembiaran) dengan kejahatan politik ala orde baru ini.
DPR, birokrasi –dan elemen trias politika lainnya-- rupanya memang benar-benar telah menjadi sarang penyamun. Padahal, sebagai negara demokrasi, di gedung DPR itulah segala harapan perubahan yang diidamkan rakyat digodok dan diujudkan melalui bermacam produksi aturan dan UU.
Maka atas kenyataan ini, dalam hemat saya tak ada lagi rasionalisasinya bila kita masih terus saja berharap akan datangnya perubahan dari arah mereka ini. Mungkin gerakan poeple power lebih realistik dilakukan, sebelum Allah menurunkan azabNya yang keras, tetapi tidak dengan pola people power “setengah matang” yang melekat pada gerakan reformasi 1998, sebagai sebuah proses penggulingan oleh rakyat yang berlangsung tanpa persiapan matang yang akhirnya hanya menghasilkan tumbangnya satu “soeharto” di Jakarta tapi memunculkan ribuan soeharto-soeharto kecil di daerah dengan keganasan korupnya yang sama luar biasanya.
Saya ainul yakin, bila Reformasi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia masih mengandalkan fondasional dan konfigurasi Trias Politika seperti sekarang ini, maka hasilnya akan lebih hancur lagi. Jika kita tetap menggunakan “roda” kendaraan NKRI yang sekarang maka terjadilah apa yang oleh agama dilukiskan sebagai bentuk hipokrit, atau struktur kefasikan dan kemunafikan sebagaimana tercermin dalam tubuh Departemen Agama dan Departemen Pendidikan yang bergerak dengan penuh kefasikan dan kemunafikan. Padahal di dua departemen inilah fondasi moralitas bangsa dibangun. Tapi di dua departemen ini juga jejaring korupsi berkembang bak klanker akut.
Kita harus berani menempuh langkah “evolusioner yang revolusioner” dalam mengatasi carut marut ini. Bagaimana logikanya? Lakukankah melalui perjuangan budaya yang konsisten, yang sepi dari perburuan “proyek” bernuansa penjarahan uang rakyat yang biasa dilakukan melalui proses perburuan rente seeking.
Bila Partai Politik, DPR, dan Jejaring Hukum sudah lumpuh oleh kanker akut, maka tegakkanlah perjuangan dari luar lingkaran birokrasi secara silent (bergerak dalam keheningan) tanpa campur tangan birokrasi, tanpa bendera parpol, dan kelembagaan artifisialitas buatan manusia lainnya, tapi memiliki efektifitas pencapaian yang tinggi, meniru cara Allah dalam menggerakan revolusi akhlak hamba-hambaNya.
Tirulah proses-proses alamiah dari sejarah agama-agama besar, mereka mulai bergerak dengan membelakangi kekuasaan (antara lain menyadari sifat kekuasaan yang cenderung korup) maka mereka tidak mengambil jalan membangun fondasi kekuatan politik terlebih dulu, tetapi pondasi akhlak melalui unit-unit kecil “keluarga terdekat”, membangun militansi moral dan pencerahan (aufklarung) kejiwaan sebagai dasar melangkah panjang dari: perjuangan budaya.
Kita tahu, bayi-bayi manusia diproses Tuhan dalam kandungan “ibu” dengan hitungan waktu tertentu ( 9 bulan dalam evolusioner), dilanjutkan 24 bulan penyusuan, balita hingga dewasa dalam evolusi pertumbuhan. Allah telah menetapkan sunatullahnya begitu. Manusia tumbuh melalui proses-prosesnya, meski pun mudah bagi Allah melakukan kerja instan.
Saat hasil fondasi karakter “al aminnya”[1] benar (pendidikan integritasnya cemerlang) maka dia itulah bakal sang penyangga revolusi. Bagi umat Islam, sesungguhnya Muhammad lah contohnya. Muhammad tidak lahir dari birokrasi. Tidak pula dari partai politik. Tapi dari rakyat biasa yang menghirup nafas kerakyatan dengan sempurna. Muhammad menyukai kontemplasi di gua hira, bukan di istana yang penuh pernik materi dan kemunafikan.
Muhammad sebagai representasi pembawa revolusi akhlak adalah sebuah individu, sebuah person yang sama sekali tidak mengandalkan status pejabat departemen, menteri atau presiden sekalipun. Namun demikian, ujung gerakkannya akhirnya menyentuh penghancuran kekuasaan “bangsa jahiliyah” sebagaimana Musa menghancurkan birokrasi penuh tipu daya Firaun. Inilah silent people power yang musti kita bangun untuk melawan kezaliman politik dan demokrasi yang tidak dilandasi akhlak seperti yang terjadi sekarang.
Lalu konfigurasi perjuangan silent yang seperti apa yang saya bayangkan ketika saya mengajak pada gerakkan involutip yang revoluioner itu? Sederhana saja. Mari kita kembali pada bentuk paling sederhana terbentuknya sebuah masyarakat madani yang penuh moralitas sebagaimana terjadi di era Madinah.
Lihat visualisasi jiwa manusia menurut pandangan Freudian di bawah ini.
Segmund Freud melukiskan, jiwa manusia bagai sebuah gunung es di lautan. Wilayah sadar manusia (yang terlihat di permukaan) hanya 10% saja. Di sinilah berada hal-hal yang logis rasional dan keahlian serta facta-facta (tangible) yang bisa dilihat dan diraba yang didapat melalui indera pendengaran dan perabaan, bersifat material dibangun melalui interaksi dengan eksternalitas individu, yaitu kehidupan sosial. Maka level ini disebut wilayah organizational level.
Sebesar 90% sisanya (yang terpendam) di bawah laut adalah wilayah “bawah sadar” dimana emosi dan sosial skill manusia sebagai “modal hidup terpenting” berada, termasuk integritas (kejujuran dan akhlak) bertahta memimpin atau menghancurkan perilaku manusia. Maka ini disebut level kultural, Evolusi panjang alam rahim anak manusia salah satunya dimaksudkan untuk membentuk fondasi ini antara lain melalui “doa prenatal” orang tua (utamanya ibu) saat bayi dalam kandungan yang mendorong berprihatin para orang tua.
Demikian juga proses pembangunan bangsa maritim pasti harus melampaui dua level ini. Pertama, berupa tahap penciptaan instrumen fisik di bidang pendidikan, industri kelautan dan pertahanan maritim yang bersifat tangible, seiring dengan aspek pembangunan rohaniahnya di level kultural. Kita tidak boleh mengulang kegagalan Orde baru yang memperjalanlan dua ranah pembangunan ini secara sangat pincang dan penuh dengan kemunafikan.
Kesalahan orde baru adalah Pancasila dibudayakan semata sebagai barang materi (kognitip), barang hapalan, sementara afeksi (perilaku) yang dikembangkan menuju arah yang berseberangan dari Pancasila, akhirnya Pancasila terjerambab jadi mantra para “dukun politik” yang merusak integritas kesadaran bangsa secara massif. Pelan tapi pasti kepincangan strategi ode baru justru semakin menjauhkan Pancasila dari rakyat.
Jadi proses Revitalisasi kejayaan Bangsa Maritim, (relatif) paling mudah dilakukan di level permukaan (alam sadar) yang 10% tadi. Apakah itu dengan membangun armada perang yang terhebat di Asia Tenggara, membangun sekolah-sekolah maritim, Membangun Ekonomi Kelautan yang hebat muara hulu-hilirnya, bikin pabrik-pabrik pengolah ikan, nelayan-nelayan yang makmur, dan sebagainya.
Dalam beberapa level Orde baru sebenarnya telah melakukan hal ini, tetapi karena lupa membangun fondasi akhlak dan moral yang kuat, hasil akhirnya adalah seperti yang kita lihat sekarang. Kepalsuan terpendar di seluruh lini kebangsaan. Kemakmuran terujud tanpa ditopang “kesejahteraan yang berkeadilan” dan berkelanjutan, Korupsi dan rusaknya akhlak anggota dewan, para pejabat dan generasi muda serta lumpuhnya kaum muda dan mahasiswa. Sementara aset armada perang yang terbeli dengan keterbatasan dana “teronggok” tapi anehnya terus menggerus dana APBN seolah semua armada itu terpakai dan inilah modus penjarahan uang negara di wilayah pertahanan melengkapi penjarahan di banyak lini lainnya.
Maka bagi kita, silent people power itu harus berani kita ambil dari di wilayah “bawah sadar” anak bangsa yang luas wilayahnya mencakup 90% itu, beranikah? Inilah gerakkan moral yang harus kita lakukan (Lihat Boks di kiri ilustrasi gunung es Freud).
Siapa pelaku dan penanggungjawabnya?
Ya, kita kita sendiri.
Saya, Anda dan anak-anak kita semua (sebagai esensi unit terkecil sebuah bangsa) dari keluarga kita masing-masing. Perlawanan diam terstruktur ini harus kita lakukan dari sekarang sebagai langkah perjuangan budaya yang sepi ing pamrih ramai ing gawe karena yang “menilai” pengorbanan ini hanya Allah, diri kita dan pasangan hidup kita. Inilah perjuangan silent keluarga-keluarga melawan berbagai kebobrokan bangsa, rezim penjarah, politisi busuk, birokrasi korup dan hedonisme, perburuan rente, perusakan akhlak dan moral oleh media, gerusan konsumtifisme yang digelar oleh para kapitalis.
DPR telah rusak seiring rusaknya partai politik.
Birokrasi korup, masih jadi kepanjangan birokrasi orde baru, meski pun sekarang sudah ada UU ASN (Aparatur Sipil Negara) tapi elan dinamikanya tak terlihat bersedia menyentuh sebab-sebab yang terdalam dari komersialisasi jabatan. Sementara kekuatan predatory terhadap keberadaan KPK yang sangat jelas muncul dari DPR dan birokrasi menunjukkan bahwa tiang-tiang demokrasi kita sudah tak bisa diandalkan lagi. Tapi kekuatan moral people power dari masyarakat yang “tercerahkan” oleh cahaya Ketuhanan masih dapat kita harapkan.
Jika gerakkan gerilya sel-sel keluarga yang dirakhmati oleh cahaya ketuhanan ini bisa massif terbentuk, maka Firaun pun dapat dihancurkan oleh ketapel Nabi Daud bukan?
Demikianlah, maka dari Bab 1 hingga Bab 9 buku ini, boleh dikata kita membahas bagian yang 10% dari wilayah jiwa manusia tersebut. Yakni pengadaan berbagai instrumen fisik revitalisasi bangsa maritim. Di dalamnya akan terlukis bagaimana implikasi yang terkembang sebagai bekas “bangsa terjajah” oleh portugis hingga Belanda (padahal dahulunya kita pernah mengalami kejayaan sebagai bangsa maritim yang berwibawa global di jaman Sriwijaya hingga Demak). Lalu masuk penjajahan modern oleh IMF, Bank Dunia dan sekutu-sekutunya yang hulunya adalah konspirasi Yahudi hingga ke Bab VI (Membangun Negara Maritim yang Digdaya: To Build the World A new Vs To Build a New world) Hingga bab IX.
Di ke 9 Bab ini, mau tidak mau frame pembahasan kita telah bergerak dalam kerangka/konteks NKRI sebagai penganut demokrasi (apapun pilihan namanya) dimana variable kelembagaannya boleh jadi akan dominan –dan seolah hanya mereka itu saja (DPR, partai politik, birokrasi dan para pejabatnya dari menteri hingga kepala desa)— sebagai pelaku tunggal pembangunan NKRI, sementara rakyat tak lebih hanya sebuah numerik instrumentatif proses-proses keabsahan demokrasi.
Inilah yang dalam pendahuluan bab epilog ini saya sebut sebagai fondasi konfigurasi Trias Politika yang sedang sakratul maut minimal dalam kondisi chaostik, saling menyandera satu sama lain dan menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara ini tak lebih sebagai proses blantikan sapi (pasar sapi) penuh dengan suasana tawar menawar kepentingan blantikan hewan.
Karena fondasi dan konfigurasi ini dalam kondisi lumpuh (chaoistik), sedangkan bila kita memilih revolusi frontal, resikonya akan sangat besar seperti kata Bung Karno, “Revolusi akan memakan anak-anaknya sendiri!” dan memang revolusi fisik terlalu besar mudhorotnya bagi bangsa multi ras yang masih rawan ketahanannya ini, maka solusi termurah adalah silent people power.
Inilah sebuah “revolusi damai” yang memilih jalan evolusioner (bak ibu sedang mengandung) yang sibuk di keheningannya melakukan refleksi prenatal (tak henti berdoa selama 9 bulan mengandung), diteruskan hingga balita dan dewasa, dan siap menerima amanah revolusi.
Sesungguhnya kita memuji ide revolusi mental presiden Jokowi, tapi sayangnya beliau tak menyebutkan siapa saja yang layak menerima amanah revolusi ini?
Yang pasti, kita sama sekali tak punya data obyektif bahwa ajakan revolusi presiden itu layak ditujukan kepada Partai Politik, apalagi ke DPR/DPRD selama rekruting politik mereka masih dipenuhi aroma darah dan uang, bahkan tidak juga kepada para dosen dan guru yang oleh Depdiknas telah dipaksa bekerja dengan semangat “kejar setoran” seperti sopir angkot? Boleh jadi kekacauan di level penyangga moral ini merupakan hasil dari susupan konspirasi juga yang tak menghendaki NKRI menjadi jaya kembali.
Untuk permenungan awal.
Cobalah bagaimana kita masih bisa berharap kepada DPR jika tingkah laku semua orang-orangnya seperti Setya Novanto dengan Freeport Gatenya? Bukti bahwa Setya Novanto hanyalah sebuah “gunung es” dari perilaku semua anggota DPR/DPRD umumnya di Indonesia dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:
Tiga lembaga yang berbasis di Amerika Serikat (AS) tercatat paling banyak menjadi konsultan pemerintah dalam merancang 72 undang-undang (UU) yang disinyalir Badan Intelijen Nasional (BIN) disusupi kepentingan asing. Ketiga lembaga tersebut adalah World Bank (Bank Dunia), International Monetary Fund (IMF), dan United States Agency for International Development (USAID). “Ketiganya terlibat sebagai konsultan, karena memberikan pinjaman kepada pemerintah untuk sejumlah program di bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Makanya, mereka bisa menyusupkan kepentingan asing dalam penyusunan UU di bidang-bidang tersebut,” kata Anggota DPR dari FPDI-P Eva Kusuma Sundari kepada. Menurut dia, Bank Dunia antara lain terlibat sebagai konsultan dalam sejumlah program pemerintah di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berbasis masyarakat. Keterlibatan Bank Dunia tersebut, membuat pemerintah mengubah sejumlah UU antara lain UU Pendidikan Nasional (No 20 Tahun 2003), UU Kesehatan (No 23 Tahun 1992), UU Kelistrikan No 20 Tahun 2002, dan UU Sumber Daya Air (No 7 Tahun 2004).
Konsultasi Bank Dunia yang menyusup ke UU Pendidikan melahirkan program bantuan operasional sekolah (BOS) yang dibiayai utang luar negeri, begitu juga dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. “Tapi pemerintah punya utang cukup besar ke Bank Dunia melalui anak usahanya IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dan IDA (International Development Association) untuk membiayai program BOS dan PNPM Mandiri,” ujar Eva. Dari data yang dihimpun SP, pinjaman IBRD untuk Indonesia berjangka waktu 20 tahun dengan masa tenggang (grace period) 5 tahun. Pada 2007, Bank Dunia menginvestasikan US$ 1,16 miliar di Indonesia untuk 28 proyek di bidang infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan pembangunan berbasis masyarakat lainnya, di mana US$ 771 juta dolar merupakan pinjaman IBRD dan US$ 389 juta dolar pinjaman IDA. Untuk 2008-2010, pinjaman dari IBRA untuk membiayai program BOS sekitar US$ 600 juta.
Era Pemerintahan SBY yang sangat pro-neoliberal, dikeluarkan lagi UU No 25/2007 tentang PMA. Dalam UU PMA yang baru ini, modal asing tidak lagi dibatasi—bisa 100%. Hak guna usaha bisa 94 tahun dan, jika waktunya sudah habis, bisa diperpanjang 35 tahun lagi. Lebih tragis lagi: tidak ada lagi perlakuan berbeda antara modal asing dan domestik. Akibatnya, sebagian besar sumber daya alam dan sektor ekonomi strategis dikuasai asing. Akhirnya, seperti diperingatkan Bung Karno, sebagian besar keuntungan mengalir keluar, sedangkan rakyat ditinggal kering-kerontang. Konon, rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa oleh pihak asing keluar. ;
Sekarang terbukti sudah bahwa intervensi asing atas kedaulatan nasional Indonesia
Sebut saja: UU nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas. Banyak pihak, khususnya kalangan peneliti, sudah membuktikan bahwa UU ini dibuat dengan sokongan lembaga-lembaga asing. Yang terakhir disebut-sebut mendanai pembuatan UU ini adalah United States Agency for International Development (USAID) Dokumen yang diserahkan itu adalah Program Reformasi Sektor Energi yang diambil dari situs USAID. Di sana disebutkan bahwa USAID membiayai perbantuan teknis dan pelatihan (technical assistance and training) dalam mengimplementasikan UU Migas, Kelistrikan, dan Energi Geotermal. Dalam dokumen itu juga tertulis, ”These laws were drafted with USAID assistance (UU ini dirancang dengan bantuan USAID).”Dana yang dialirkan USAID untuk pembahasan UU Migas dan turunannya, selama kurun waktu 2004 - 2007adalah 21,1 juta dollar AS atau sekitar Rp 200 miliar. Namun, ke mana saja dana itu mengalir, menurut Zulkifli, belum bisa memastikannya. ”Dana itu dikeluarkan ke mana ?
Terindikasi ada Praktek Suap alias jual beli Pasal Undang undang di DPR RI
Masih Banyak lagi Produk Undang undang yang sarat kepentingan Asing diantaranya :
- Perundang-undangan yang membolehkan pihak asing menguasai kekayaan alam nasional: UU nomor 22 tahun 2011 tentang migas, UU nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara, UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal asing, dan UU nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No.19/2004 tentang Kehutanan, RUU pengadaan tanah, dan lain-lain.
Dampaknya: modal asing mengusai kekayaan alam nasional di sektor migas (85-90%), kekayaan batubara (75%), mineral (89%), perkebunan (50%), dan lain-lain. Akibatnya: 90% keuntungan ekonomi mengalir keluar, dan hanya 10% yang dibagi-bagi di dalam negeri.
- Perundang-undangan yang menyebabkan asset strategis dan menguasai hajat hidup rakyat dikuasai asing: UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN (RUU perubahan UU BUMN 2011), Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang No. 17/2008 tentang Pelayaran, UU perbankan No. 10 Tahun 1998 (diperbaharui tahun 2009) UU Badan Penyelenggara Jaminan sosial, UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), RUU Perguruan Tinggi, RUU Pangan, dan lain-lain.
Dampaknya: privatisasi sejumlah perusahaan strategis yang melayani kebutuhan dasar rakyat, seperti perusahaan listrik, telekomunikasi, penyedia air minum, industri baja, industri penerbangan, dan lain-lain. Ini juga disertai dengan privatisasi layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain sebagainya. Akibatnya: rakyat harus membayar sangat mahal setiap layanan kebutuhan dasarnya.
- Perundang-undangan yang melegitimasi politik upah murah: UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Dampaknya: pemberlakukan pasar tenaga kerja yang fleksibel, pemberlakuan sistim kontrak dan outsourcing, dan lain-lain.
- Perundang-undangan yang mengesahkan agenda perdagangan bebas: UU No 38 Tahun 2008 tentang pengesahan piagam ASEAN, UU perdagangan, UU kawasan ekonomi khusus (KEK), dan lain-lain.
Sebagian besar UU itu jelas bertentangan dengan kepentingan nasional; juga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi, semua Produk UU itu berhasil diundangkan karena adanya keterlibatan pihak-pihak di dalam negeri sebagai penyokongnya: pemerintahan komprador, sebagian kekuatan politik di parlemen, sebagian intelektual, dan LSM tertentu.
Ketua DPR Marzuki Ali mengatakan, perlu pembuktian untuk memastikan apa memang ada 72 UU yang dianggap membawa kepentingan asing. Jika tidak ada bukti, maka sulit menuduh bahwa UU itu merupakan pesanan asing. “Harus ada pembuktian untuk menyatakan itu. Jangan hanya asumsi dan katanya,” kata Marzuki . Ia mengaku, belum mendapat laporan mengenai hal tersebut. Dia juga tidak mau berkomentar lebih jauh jika belum ada pembuktian sebagai titipan asing. Sebuah lembaga swadaya masyarakat asing diketahui berkantor di Gedung DPR RI, Jakarta. United Nations Development Programme (UNDP) itulah LSM yang berkantor gedung parlemen Indonesia.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengungkap telah terjadi praktik jual beli pasal di DPR. Pemerintah menyatakan tidak terlibat dalam kasus itu. "Tidak ada ya. Kita tidak tahu ada jual beli pasal," kata Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham Wicipto Setiadi saat dihubungi. Wicipto mengatakan, ia sudah sering terlibat dalam pembuatan undang-undang. Pasalnya, ia pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Perundang-Undangan hingga saat ini menjabat sebagai BPHN. Namun, tidak pernah ia mendengar ada praktik jual beli pasal di DPR. Menurut dia, dalam merancang undang-undang, DPR memang membutuhkan waktu lama. DPR harus melakukan kajian akademis. Namun, dalam perancangan itu, tidak pernah sekalipun ada indikasi jual beli pasal yang melibatkan pemerintah. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengungkapkan ada 406 kali pengujian undang-undang ke MK sejak 2003 hingga 9 November 2011 di mana 97 di antaranya dikabulkan karena inkonstitusional. Mahfud menilai buruknya legislasi ini terjadi karena ada praktik jual beli kepentingan dalam pembuatan UU.
LSM Asing berkantor di gedung Sekretariat Jenderal DPR, lantai 7 dan di lantai 3 gedung DPD RI. Namun, untuk di gedung Sekjen logo UNDP berwarna biru sudah hilang, sementara di DPD masih terpampang dengan jelas. Menurut Ketua DPP Partai Golkar, Firman Subagyo dirinya mengaku kaget atas keberadaan kantor UNDP tersebut. "Saya kaget kalau ada NGO asing, ini kan gedung negara kita menyimpan dokumen negara yang sangat penting. Kalau ada NGO asing di gedung wakil rakyat, waduh ini luar biasa,"Firman juga curiga NGO tersebut merupakan bagian dari CIA. Padahal ketika dirinya masuk gedung parlemen di luar negeri diperiksa secara detil oleh pihak keamanan disana, bahkan dilarang memotret.Karena itu, ia mempertanyakan siapa yang mengizinkan NGO tersebut. Untuk diketahui, UNDP sendiri merupakan salah satu NGO asing yang berada di bawah PBB.60 UU Indonesia Dipengaruhi Perusahaan dan LSM Asing. Setidaknya ada 60 produk perundangan Indonesia yang dipengaruhi kepentingan perusahaan asing dan sangat merugikan kepentingan nasional.Begitu disampaikan anggota Komisi IV DPR RI Siswono Yudhohusodo di Gedung DPR Senayan,. Dia mencontohkan, UU sumber daya air dan sejumlah perundangan yang mengatur praktik perbankan.Karenanya, dia meminta agar Seluruh Eleman Rakyat mewaspadai segala kepentingan tertentu yang ditargetkan oleh lembaga asing, baik perusahaan maupun LSM asing seperti Greenpeace.Dia juga mengatakan, data yang disampaikan Greenpeace mengenai kerusakan hutan Indonesia, misalnya, harus diwaspadai karena bisa jadi merupakan bagian dari skenario asing menyudutkan perekonomian nasional Indonesia. "Data tersebut jelas-jelas berorientasi kepada kepentingan perusahaan luar negeri. Pemerintah jangan mudah percaya info-info itu,” katanya. Dia juga mengatakan, bukan baru kali ini LSM asing itu memiliki agenda terselubung. Dari pengalaman yang lalu, demikian Siswono, LSM asing bahkan sudah berhasil mempengaruhi sampai tingkat perundang-undangan tadi.
72 UU Diintervensi Asing Pengamat dari Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Bambang Budiono menyebutkan 72 undang-undang di Indonesia diintervensi asing. "Hal itu membuat Pancasila dikepung dua ideologi fundamentalisme yakni fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama," kata dosen Fisip Unair ini di Surabaya,. Ia mengemukakan hal tersebut dalam seminar tentang Pancasila bertajuk "Indonesia Menuju Negara Paripurna" yang diselenggarakan Universitas Narotama (Unnar) Surabaya untuk memperingati wafatnya penggali Pancasila, Soekarno. Menurut antropolog itu, kepungan tersebut terlihat dari adanya 75 persen pertambangan, 50,6 persen perbankan, 70 persen jaringan telekomunikasi, dan 65 persen agroindustri di Indonesia yang sudah dikuasai asing. "Kepemilikan asing itu antara lain 70 persen jaringan telekomunikasi yang dimiliki Kuwait, sedangkan agroindustri antara lain 65 persen kecap dikuasai AS, delapan persen sawit dikuasai Singapura, dan 12 persen sawit dikuasai Malaysia," katanya. Selain itu, 100 persen teh dan makanan ringan merek tertentu juga dimiliki Inggris, kemudian 74 persen minuman ringan dikuasai Prancis."Hal tersebut terjadi, karena kepemilikan asing itu masuk dalam 72 UU dengan kompensasi utang dan bantuan teknis kepada Indonesia, di antaranya UU minyak dan gas, UU telekomunikasi, UU listrik, UU sumberdaya air, dan sebagainya," katanya. Bahkan, kata dia, ada badan asing yang berkantor di DPR untuk mengawali UU tersebut. "Tidak hanya itu, pendidikan dan kesehatan juga dimasuki. Sekarang 49 persen pemain asing sudah diizinkan masuk pendidikan, dan juga swastanisasi rumah sakit," katanya. Oleh karena itu, kata mantan Direktur Pusham Unair ini, pertumbuhan ekonomi hanya diwaspadai, karena keuntungan dari pertumbuhan tersebut bukan menjadi milik Indonesia, melainkan milik kalangan asing.
"Kalau mau selamat, solusinya adalah kembali kepada Pancasila yang digali Bung Karno, tetapi solusi itu tidak mudah, sebab fundamentalisme sudah mengepung kita," katanya. Sementara itu, Presiden The Soekarno Center Dr Shri I Gusti Ngurah Arya Weda, pembicara lain dalam seminar ini mengatakan Pancasila dalam pandangan Soekarno adalah berdaulat secara politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam seni budaya."Bung Karno mengatakan revolusi belum selesai, tetapi maksudnya adalah revolusi karakter terkait kemandirian politik, ekonomi, dan seni budaya, tetapi revolusi itu pula yang membuat Bung Karno jatuh, karena negara lain ingin menjajah Indonesia secara politik, ekonomi, dan budaya," kata Rektor Universitas Mahendradatta, Bali itu (http://gustafalattas.blogspot.com/2012/07/lembaga-asing-intervensi-produk-uu-dpr.html)
***
Apa boleh buat, sesungguhnyalah kita sedang terjebak pada parodi demokrasi keterwakilan. Rakyat harus manut yang mewakilinya (DPR & Birokrasi Negara). Tak soal bila para wakil yang ada lebih berperilaku sebagai predator penghianat rakyat ketimbang pembela rakyat dan keadaan bangsa sudah terjepit bermacam jerat global APEC, AFTA, GATT & sekarang MEA. Bangsa ini sekarang hidup bak bakul-bakul pasar tradisional yang hidup dari “ilusi kemudahan” yang diberikan oleh rentenir. Ini karena mereka tak tersentuh jasa Bank yang lebih berperilaku sebagai pemburu jaminan daripada entrepreneur yang berani ambil resiko demi tugas nya sebagai agent of change bangsa.
NKRI sekarang ini, dapat dikatakan sedang menghadapi dua “arus besar” yang harus kita siasati. seperti terlihat pada diagram berikut, ini adalah mata rantai terbentuknya kekejian globalisasi sebagaimana sudah kita bahas dalam bab-bab sebelumnya.
Pertama, dari yang paling dasar bahwa globalisasi ini sudah dimulai dari hal yang GIVEN (tak bisa diubah) namun demikian sepenuhnya bisa “disiasati” atau dilawan, inilah sebuah sublimasi kisah dendam bangsa Yahudi (illuminati) untuk mengubah dunia sebagaimana kita bahas dalam bab III.
Kedua, dengan dendam tersebut lahirlah sublimasi program (konspirasi Yahudi), betapapun tak sedikit orang yang mencibir kisah konspiratif ini sebagai “pseudo ilmiah” tapi realitasnya semua rencana yang mereka buat saat ini terbukti semua menjadi sebuah “arus dominan” yang kuasa memaksa semua bangsa dunia tunduk padanya.
Ketiga, dengan menumpang sejarah penjajah, program konspirasi tadi lalu menyebar ke seluruh dunia dan keempat, pada akhirnya sejarah penjajahan ini menemukan bentuknya yang terkini dalam bentuk Globalisasi sebagai bentuk penjajahan baru.
Sementara di dalam negeri sendiri, kita sedang terpasung oleh “proses blantikan” para politisi di DPR yang menghasilkan ratusan UU pro asing yang menjerat bangsa sendiri. Inilah kompleksitas ancaman sekarang ini, bahwa musuh tidak saja datang dari luar tapi juga dari liang-liang kegelapan bangsa kita sendiri.
Maka inilah syarat, bahwa globalisasi yang berakar pada dendam spiritual bangsa Yahudi yang ditopang oleh kombinasi perilaku korup para “tikus-tikus politik” dalam negeri tersebut dapat kita “siasati” dengan mudah apabila:
- Bila negeri ini dipimpin oleh presiden yang tegak dadanya di depan dunia internasional dan berani bilang, “Go to hell with your aid Amerika, Jepang, China IMF dan Bank Dunia!” demi menjaga kekayaan tanah air digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Nyatanya kekayaan laut yang belum kita garap, ini potensi pertahunnya diperkirakan sebesar 10 kali APBN 2010 tapi mengapa dalam menutup defisit APBN kita masih mengandalkan hutang dari IMF, Bank Dunia dan kini Bank China. Presiden Jokowi pun bahkan menyalip “keahlian berhutang” empat presiden sebelumnya. hanya dalam hitungan bulan hutang Presiden Jokowi bisa melampaui hutang presiden sebelumnya.
- Bila DPR dan partai politiknya telah benar2 jadi representasi rakyat, dimulai dari proses rekruting yang bersih bebas money politik berbasis kompetensi dan mampu memproduksi UU yang melindungi semua asset nasional dari kangkangan para predator global
- Bila birokrasi berisi orang-orang yang amanah, profesional dan kompeten dan berdedikasi yang bekerja dengan semangat pengabdian yang tinggi
- Bila media massa (koran, radio, tv, produser film/sinetron) telah bekerja sebagai “guru bangsa” yang tidak tunduk pada kemauan pemilik modal
- Bila kantor Depdiknas dan Depag sebagai peletak dasar pendidikan telah bekerja dengan kesadaran penuh sebagai penjaga gawang pembentukan nation building dan karakter bangsa yang terbebas dari korupsi dan tidak menjadi agent kapitalis
- Bila peri kehidupan semesta rakyat dapat dihentikan dari hedonisme materialistiknya.
Dari ke-6 langkah tersebut di atas, rasanya hampir “mustahil” kita menggantungkan harapan perubahan sepenuhnya pada konfigurasi Trias Politika (Eksekutip, Yudikatif dan legislatif), birokrasi, pun tidak pada pilar ketiga demokrasi yaitu “mass media” selama media masih menjadi pendukung kapitalisme untuk menjalankan apa yang dibahas di ke-9 Bab buku ini, sekali pun “di atas kertas” jalur-jalur inilah yang paling memiliki kompetensi dan legalitas untuk melakukannya.
Maka bila langkah formal-konstitusional ini menjadi kemustahilan maka satu-satunya jalan adalah mengkondisikan munculnya silent revolusi-berbasis keluarga. People power harus datang dari arah ini. Keluarga-keluarga harus mengambil alih kembali peran utamanya sebagai pembentuk dasar akhlak dan moralitas anak bangsa. Keluarga-keluarga harus menjadi pilar demokrasi pertama dan utama sebelum sumber daya manusia masuk ke kawah penggodokan sekolah, bahkan sebelum akhirnya mereka “berkarya” di wilayah Trias Politika.
Wilayah-wilayah formal ini butuh input yang baik dan terlatih mentalnya. Partai Politik, DPR, birokrasi negara, dunia pendidikan, dunia bisnis semuanya butuh SDM yang kompeten dan berintegritas. Basis keluargalah peletak dasar terbaik fondasi integritas. Disinilah relevansinya basis Keluarga harus dijadikan hulu, karena di sinilah wilayah paling aman yang bebas “polusi” proyek.
Di dalam institusi keluarga inilah, setiap kita, pembaca semua, menjadi aktor utama peletak dasar perbaikan kualitas akhlak anak bangsa. Baru setelah itu pendidikan “kompetensi” formal menjadi berarti bagi perubahan. Tapi ainul yakin, hal ini tidak boleh dipasrahkan ke Depdiknas yang sudah terkontaminasi parah oleh mental proyek bahkan mungkin oleh agenda-agenda konspiratif asing yang akan membuat Depdiknas seperti “lari di tempat” di balik program-program yang nampaknya berkualitas.
Inilah jalan evolutif yang revolusioner.
Kejayaan bangsa Yahudi yang menguasai dunia sekarang ini sesungguhnya bermula secara SILENT POPLE POWER, kita perlu meniru taktik para konspiran Yahudi, ambillah taktik “penyusupan Kultural” dengan membangun kesadaran untuk bersedia berjuang secara budaya dengan konsekuensi perjuangan jangka panjang, meski pun butuh waktu ratusan tahun sekalipun, sebagaimana para konspiran Yahudi telah membuktikan keberhasilannya melalui jalur “pintu kebudayaan”.
[caption caption="inilah 9 Spektrum involusi revolusioner sonder mengandalkan Pemerintah, DPR atao Parpol yang sedang mengalami pembusukan"]
Bila pembaca sepaham, inilah langkah-langkah “Gerilya Budaya” di wilayah 90% dunia “bawah sadar” manusia sebagaimana dilukiskan oleh Freud, dan memang inilah yang bisa kita lakukan secara swadiri sepenuhnya (sebagai kontribusi setiap individu) tanpa harus menunggu kepedulian pemerintah, Parpol dan DPR/DPRD yang tengah mengalami kebutaan (myopis budaya). Dengan mengambil pelajaran kegagalan “revolusi Budaya” dari berbagai tempat seperti China dan Rusia, misanya mari perhatian kita berikan kepada beberapa point ini secara berurutan sebelum kita coba mengulang gerakkan moral reformasi tahap 2, sehingga pada saatnya kita dapat mengisi keberhasilan refrmasi tahap 2 ini dengan kompetensi dan kualitas integritas sumber daya yang layak yaitu mulai dari.....
- Pemberdayaan keluarga dan penguatan kelembagaan keluarga
- Pemberdayaan “bottom up” para Agent of Change seperti Guru melalui organisasi profesinya (PGRI), dengan dinamika retrospeksinya yang berkelanjutan.
- Revitalisasi tokoh masyarakat (pemimpin informal) sebagai ganti ketidakefektifan Birokrasi & partai politik
- Penguatan Ormas & keagamaan
- Penguatan pemuda yang pada masa orde baru telah berhasil “dilumpuhkan” lewat penerapan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus yang penuh tipuan tujuan
- Produksi isu-isu perlawanan budaya dengan “Energi Lawan”
- Penguatan & penyusupan sekolah via berbagai komite pendidikan
- Penguatan media alternatif dan komunitas
- Membentuk gerakkan swadesi ala India, sebagai alternatif wadah pemuda untuk mengisi kekosongan peran Parpol
- Mobilisasi para cendekiawan yang tercerahkan sebagai penggerak masyarakat
[1] Al Amin (manusia yang jujur) adalah sebutan untuk karakter rasul Muhammad
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H